NW ONLINE – Dakwah Ala Media Sosial, Dakwah dan Islam adalah dua eksistensi komplementer, saling melengkapi dan berpadu secara mutualistik dalam membangun harmoni di tengah masyarakat tanpa sekat. Berbicara tentang signifikansi dakwah, maka menarik untuk mengutip perkataan Michael Nortchot yang mengatakan bahwa “Agama adalah sesuatu yang bisa mempengaruhi manusia dan dapat dipengaruhi oleh manusia”. Berikut Artikel Dakwah Ala Media Sosial

Secara moderat ungkapan itu bisa kita interpretasikan bahwa kehadiran agama bisa menjadi ”trend-setter”/petunjuk ke arah kebaikan bagi manusia, dan kualitas keagamaan seseorang dapat ditentukan oleh lingkungan, informasi, doktrin, ideologi yang dibentuk dan disebarkan oleh manusia itu sendiri, dan inilah yang kita sebut sebagai dakwah. Singkatnya, agama seseorang sangat amat ditentukan oleh darimana dan bagaimana dakwah yang sampai kepadanya.
Setidaknya dakwah Islam yang ideal melalui media social paling kurang haruslah memuat enam dimensi kualitatif sebagai berikut;

1). Dimensi Ma’rufan, dimensi kebaikan. Ajaran Islam secara perennial memiliki dua orientasi dalam dakwahnya, yakni orientasi amar ma’ruf -untuk mengarahkan manusia kepada kondisi rekonstruktif/kebaikan, dan orientasi nahi mungkar -untuk menjauhkan manusia dari potensi-potensi dekonstruktif/kebatilan. Maka sebuah dakwah yang membawa nilai kebaikan haruslah juga disampaikan dengan cara-cara yang baik. Allah SWT menandaskan dalam Al Qur’an:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.

2). Dimensi Kariiman, dimensi kemuliaan. Dakwah Islam pastinya akan selalu disandarkan kepada dua rujukan yurisprudensial yang paling mulia, yakni Al Qur’an dan Hadits baik secara implisit ataupun eksplisit, langsung ataupun tidak langsung. Maka dari itu, kita seyogyanya menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok ideal yang patut dicontoh dalam menjalankan misi propetik beliau menyebarkan ajaran Islam dangan cara-cara yang mulia dan penuh suri tauladan. Dimensi ini menegaskan bahwa hendaklah dalam berdakwah selalu dimulai dengan motivasi keikhlasan dan niat mulia lillahita’ala serta direfleksikan dengan dengan fi’lan wa qoulan kariiman/perbuatan dan perkataan yang mulia baik verbal maupun non verbal, lebih-lebih yang berbasis media, elektronik ataupun cetak, visual-virtual ataupun non visual-virtual.


3). Dimensi Maisura, dimensi kepantasan. Dakwah Islam mampu memberikan efek persuasif yang maksimal ketika retorika dakwah yang disampaikan pantas dan sesuai dengan situasi dan kondisi objek dakwah. Maka disini seorang pendakwah -konten creator dakwah di media social haruslah memetakan audiens dakwahnya dengan baik. Terkait ini, menarik untuk mengutip pendapat Clifford Geertz yang membagi kondisi masyarakat menjadi tiga berdasarkan tingkat penerimaannya, yakni santri, abangan, dan priyai. Ataupun seperti pendapat Max Weber yang membagi menjadi lima, Petani, pedagang, karyawan, kaum buruh, dan elit/hartawan.


4). Dimensi Tsaqila, dimensi berbobot. Dakwah Islam juga dituntut harus berbobot dan disajikan dalam kemasan menarik sesuai zamannya. Hal inilah yang merefleksikan sisi kompetitif dari misi dakwah islam itu sendiri, atau dalam bahasa orientalis disebut sebagai misionaris islamisme. Max Muller pada tahun 1873 membagi enam agama terbesar saat itu menjadi dua bagian, agama dakwah (missionary) dan agama non dakwah (non-missionary). Kelompok pertama mencakup Islam, Buddhisme/Budha, dan Kristen, sedangkan kelompok kedua mencakup Yahudi, Hindu, dan Zoroaster. Legitimasi misi dakwah dengan dimensi berbobot telah banyak disebutkan Al-Qur’an dalam rangka menyebarkan Islam keseluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Al Qur’an menyebutkan
“Dan kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui “

5). Dimensi Baligha, dimensi yang menyentuh hati. Maka dakwah yang ideal adalah “dakwah yang merangkul bukan memukul, mengajak bukan menginjak, meredam bukan mendendam, mendidik bukan menghardik, mengilhami bukan menghakimi, serta bersikap ramah bukan malah marah-marah”. Hal inilah yang menjadi strategi jitu dakwah Nabi dalam merespon perlawanan dari kaum borjuis nan opportunis di tanah Arab, yang melapangkan jalan dakwah para Walisongo menghadapi keangkuhan para aristokrat-ningrat di tanah Jawa, dan kiprah dakwah memajukan pendidikan Islam di tananh Lombok oleh KH. Zainuddin Abdul Madjid. Dalil formalistik tentang ini disebutkan dalam Al Qur’an:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

6). Dimensi Layyinan, dimensi kelembutan. Terakhir adalah metode dakwah dengan penuh kasih sayang. Dakwah tanpa umpatan kepada mereka yang dianggap berseberangan paham yang justru malah membentuk sebuah demarkasi yang berujung permusuhan diametral bernuansa sarkas dan mudah dipecahbelah. Mengikuti Nabi Muhammad SAW dengan metode dan retorika dakwah yang santun, sopan, toleran, tidak eksklusif (merasa benar sendiri), dan dialogis serta kompromistis terhadap perbedaan pendapat. Al Qur’an menandaskan:
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.


Dan akhirnya semoga kita semua dapat meniru strategi dakwah Rasulullah, karena sejatinya dakwah adalah tugas kita semua, apapun profesi dan latarbelakangnya, berdakwahlah tanpa menunggu diri menjadi pribadi yang baik, berdakwah menyerukan kebaikan dan dan mencegah kemungkaran. Rasulullah menyebutkan:“Sesungguhnya perumpamaan pahala orang yang mengajak keada kebaikan seperti pahala orang yang mengerjakan kebaikan tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang mengerjakan kebaikan itu barang sedikitpun” Jakarta, 26 February 2021.

Dakwah Ala Media Sosial – Kiriman Artikel Oleh: L. M. Ade Ilham Bakrie (Mahasiswa Magister Sekolah Pascasrjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)