UMMAT RUKUN INDONESIA MAJU:
REFLEKSI HARI AMAL BHAKTI (HAB) KEMENTERIAN AGAMA RI KE- 74
Oleh:
Prof. Dr. TGH. Fahrurrozi Dahlan, QH., SS., MA.
(Guru Besar FDIK UIN Mataram – Sekretaris Jenderal PBNW)
Prolog:
Tema Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian Agama RI tahun 2020 ini sangatlah menarik untuk diperhatikan dan diamalkan oleh seluruh elemen masyarakat. Kementerian Agama RI setiap tahunnya mengusung tema-tema yang berbeda-beda sebagai respon terhadap dinamika yang terjadi di tengah-tengah keberagaman dan keberagamaan masyarakat Indonesia. Tema “Ummat Rukun Indonesia Maju” kali ini adalah tema keberlanjutan dari tema moderasi Islam yang dicanangkan dan disosialisasikan secara massif oleh Kementerian Agama RI empat tahun belakangan ini. Moderasi Islam- jalan tengah dalam beragama adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dalam konteks merukunkan ummat.
Pada titik asalnya, kemanusiaan adalah satu. Satu dari Sang Pencipta, satu nenek moyang, satu tujuan penciptaan. Titik asal itu sendiri ada (maujud) dalam fitrah terdalam kemanusiaan, yaitu kecondongan untuk berbuat baik, rasa tidak puas untuk terus mencari jalan kebenaran, dan terbuka dengan segala bentuk kebenaran dari manapun asalnya. Fitrah tersebut dengan sendirinya akan terangkai dalam bentuk sikap tunduk (ad-Dien) dan pasrah (al-Islam) kepada Yang Maha Benar. Menolak semua ini, sama saja dengan menolak fitrah kemanusian yang memang sudah menjadi hukum alam (sunnatullah).
Menolak hukum alam berarti sama juga dengan menjadi makhluk yang tidak benar atau tidak normal. Sebab, hukum alam sama seperti hukum kausalitas (sebab-akibat) yang mengikat, walau manusia juga sesungguhnya memiliki ruang kebebasan, sebagai konsekuensi logis dari keberadaannya sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Dengan tugas utama mengelola tatanan kehidupan sebaik mungkin. Sebagai tamsilan, hukum alam seperti permainan catur. Kita bebas saja menggerakan bidak-bidak catur, sesuai dengan posisi dan perannya. Akan tetapi tidak boleh keluar dari papan catur itu sendiri. Bagi yang keluar, selesailah permainan bidak tersebut.
Dalam penciptaan manusia, Tuhan sedari dini sudah menyatakan kepada makhluknya yang paling taat (Malaikat), bahwa Dia akan menciptakan makhluk lain yang akan menjadi wakilnya (khalifah) di muka bumi. Tugas utamanya adalah mengelola tatanan kehidupan duniawi secara tepat dan benar. Malaikat awalnya tidak sepakat, akan tetapi setelah mendapat penegasan Tuhan maka malaikatpun setuju (QS:2/30). Persetujuan itu pun diwujudkan dalam bentuk sujud, sebagai simbol penghormatan kepada wakil Tuhan. Tapi malaikat yang paling taat (iblis)-pada saat itu-menolak (QS:2/34), bahkan dia menghina takdir penciptaan manusia, sekaligus hendak menghancurkan setiap tatanan yang akan dibangun oleh manusia.
Manusia, menurut pengakuan Tuhan sendiri adalah sebaik-baiknya penciptaan, sebab manusia dibekali oleh akal, keinginan untuk berkembang, serta dianugerahi agama sebagai penuntun hidupnya. Akan tetapi manusia dapat menjadi makhluk yang paling hina dan tidak bernilai, ketika dia meninggalkan fitrahnya yang suci dan mengadakan kerusakan di muka bumi, kecuali bagi orang-orang yang yakin (iman) kepada yang benar dan berbuat baik (QS:95/4-6). Menjalani misi ketuhanan di dunia, yang memang secara alami akan terus berkembang, dinamis, maju dan memiliki keberagaman yang tinggi, sebagaimana awal keberadaannya sendiri, menjadikan manusia harus memiliki instrumen yang sama dengan yang dimiliki oleh dunia ini sendiri. Tanpa itu, maka manusia akan tertinggal bahkan bisa tergilas. Oleh karenanya, pluralitas (keberagaman) pada manusia (yang memang sudah sunnatullah) adalah anugerah yang mesti disyukuri, sebab pluralitas itulah yang membawa manusia bukan saja dapat bertahan, bahkan berkreasi dengan segala bentuk perubahan yang ada.
DIMENSI KERUKUNAN KEUMMATAN: STRATEGI DAN OPTIMALISASI
Kritik pedas terhadap kekerasan berwajah agama itu tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan agama yang cenderung memperkeras identitas keagamaan secara eksklusif, dan secara bersamaan menumpulkan kepekaan sesama umat beriman terhadap umat yang berbeda keyakinan imannya (agamanya). Klaim kebenaran (truth claims) suatu agama oleh pemeluknya acapkali dijadikan dasar untuk menegasikan keberadaan pemeluk agama lainnya. Dalam kehidupan masyarakat yang sangat majemuk baik dari aspek agama maupun etnik, tentu saja hal ini tidak menguntungkan bagi harapan terciptanya sebuah kehidupan umat beragama yang harmonis, toleran dan dialogis.
Klaim-klaim kebenaran sendiri, pada gilirannya membawa kepada dislokasi nilai kerukunan yang dapat menimbulkan semangat otoritarianisme pemahaman keagamaan yang menindas atau memaksakan kehendak kepada kelompok agama lain. Misi agama yang ingin menyelamatkan umat manusia dari kenistaan, justru dengan model klaim kebenaran semacam itu membawa umat manusia kepada sikap saling menghancurkan sesama manusia untuk berperang atas nama agama atau bahkan atas nama Tuhan (keselamatan) itu sendiri. Dalam aras yang lebih luas, sikap otoritarianisme keagamaan yang demikian itu nampak dalam sikap anti-dialog, isolasionis, dan antagonis baik kepada umat agama lain maupun terhadap sesama umat agamanya dari kelompok (mazhab) yang berbeda.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, Kementerian Agama RI mencoba melontarkan kembali tema-tema kerukunan yang mungkin kerukunan ummat ini sudah mulai memudar di kalangan masyarakat Indonesia. Upaya ke arah kerukunan ummat tersebut, Secara konseptual Kerukunan Ummat harus dibangun dalam lima pondasi dasar dalam marajut kerukunan:
a) al-Ta’âruf (saling kenal-mengenal, saling menemukenali)
Strategi ta’aruf ini harus terus didengungkan, pemerintah harus terus mendorong agar semua kalangan, golongan, elemen masyarakat untuk saling berinteraksi dalam segala dimensi. Dengan menggalakkan sikaf ta’aruf ini akan mengurangi sikaf ekslusif, sikap tertutup terhadap budaya dan pemikiran orang lain. Kebijakan pemerintah untuk terus sosialisasikan akan pentingnya merajut keharmonisan melalui pendekatan ta’aruf dalam dimensi yang sangat luas.
b) al-Tawâsul (interaksi dan koneksi, saling sambung-menyambung)
Kementerian Agama RI sebagai lambaga pemerintah yang sejak lama berdedikasi untuk merajut keharmonisan ummat. Kementerian Agama kini berusia 74 tahun tentu telah banyak menelorkan kebijakan strategis terkait tentang kerukunan ummat beragama. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana interkasi koneksi yang saling menyambung ke semua elemen masyarakat. Semua masyarakat disapa dan ditegur dalam kebijakan yang mengayomi semua pihak. Kebijakan yang strategis dan praksis dapat mengurangi kesenjangan sosial yang terkadang dengan sebab terjadinya kesenjangan sosial itu dapat memicu disharmoni di kalangan masyarakat Indonesia.
c) al-Tafâhum (saling pengertian, saling memupuk solidaritas, toleransi)
Kontekstualitas kerukunan keummatan ini pada gilirannya menyadarkan kita bahwa penafsiran dan pemahaman terhadap pemahaman yang beragam bukan hal yang menyimpang ketika kerja ijtihad dilakukan dengan bertanggung jawab. Dengan demikian, sikap ini akan melahirkan toleransi terhadap berbagai penafsiran Islam. Lebih jauh lagi, kesadaran akan realitas konteks keislaman yang plural menuntut pula pengakuan yang tulus bagi kesederajatan agama-agama dengan segala konsekuensinya. Semangat keragaman inilah yang menjadi pilar lahirnya kerukunan keummatan.
Semangat solidaritas, dan toleransi dengan segala elemennya menjadi elemen yang paling urgen dalam membangun kerukunan umat. Kerukunan ummat tidak jauh-jauh dari pemahaman ummat tentang arti dan makna toleransi. Sebab memahami toleransi dengan baik dapat membangkitkan solidaritas ummat yang kuat dan saling menyapa satu dengan yang lainnya tentu atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d) al-Tarâhum (saling kasih mengasihi, saling empaty)
Menghargai tradisi adalah bagian dari cara saling mengasihi dan saling membuka rasa empati. Tradisi tidak dimusuhi, tetapi justru menjadi sarana vitalisasi nilai-nilai kerukunan, yang akrab dengan kehidupan pemeluknya. Sikap empayi yang progresif, yakni dengan perubahan praktek keagamaan dengan memberikan penjelasan bahwa Islam menerima aspek progresif dari ajaran dan realitas yang dihadapinya. Kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap ajaran dasar agama, tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Dengan ciri ini merajut ummat kebersamaan bisa dengan lapang dada berdialog dengan tradisi pemikiran orang lain termasuk dengan Barat.
e) al-Ta’âwun (memupuk semangat kebersamaan, kerjasama, dan team work).
Semangat kebersamaan yang membebaskan menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem nyata kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Agama adalah untuk manusia, demi kemashlahatan mereka. Oleh karena itu, Agama mesti dekat dengan masalah keseharian mereka. Agama tidak hanya berbicara soal alam ghaib dan peribadatan, tetapi juga akrab dengan perjuangan melawan penindasan, kemiskinan, keterbelakangan, anarki sosial, dan sebagainya. Agama adalah milik orang kecil selain juga milik orang besar. Agama milik orang miskin juga milik orang yang kaya. Agama milik orang tertindas bukan milik kaum tiran. Dengan semangat pembebasannya, Agama tidak kehilangan kemampuan untuk memikul peran permasatu dan perekat kebangsaan dan keummatan.
ELEMEN-ELEMEN PEREKAT KERUKUNAN UMMAT
Adanya keberagaman, sesungguhnya adalah bentuk dari pada upaya pencarian manusia terhadap kebenaran yang mula hadir dari suatu yang Absolut. Dan menjadi kebutuhan manusia untuk menurunkan dalam kerangka relatifitas, karena manusia itu sendiri adalah bentuk kenisbian yang berada dalam ruang dan waktu. Sehingga lahirlah ta’wil, pemahaman, tafsiran dialog atau interpretasi terhadap pesan-pesan langit (Komarudin Hidayat, 2004). Memahami kebenaran yang berbeda, berarti harus memahami pula bentuk dari kebenaran itu sendiri. Kebenaran itu hadir dalam dua bentuk: Kebenaran Esoterik (batiniah) dan Eksoterik (lahiriah). Manusia berbeda dalam hal-hal yang bersifat eksoterik, karena eksoterik itu adalah pakaian, simbol, penafsiran, pemahaman, mahzab bahkan bentuk agama. Akan tetapi manusia memiliki persamaan dan dapat bertemu dalam kebenaran yang esoterik. Dalam esoterik, kebenaran dapat bertemu karena esoterisme adalah sesuatu yang terdalam dan bersifat non-personal (Budhy Munawar Rahman, 2004:83). Dalam tataran teknis. Kaum muslim juga harus secara terbuka untuk melihat tentang kemungkinan-kemungkinan pencarian kebenaran bersama yang memang terbuka lebar. Memprioritaskan yang terpenting dari yang penting adalah kebutuhan ditengah pergumulan kehidupan yang sering membuat kaum muslim terjepit. (Qardhawi, 1997).
Memahami bahwa keberagaman adalah sesuatu hal yang ada dan memang sebagai suatu keharusan, merupakan sikap yang baik dan tepat. Akan tetapi tentunya tidak boleh berhenti hanya sampai disitu, melainkan harus naik lagi kepada penghargaan terhadap keberagaman dengan mengadakan kerja sama positif, inilah yang disebut dengan pluralisme.
Menjadikan pluralisme sebagai landasan gerak dalam membangun dan menjaga tatatanan kehidupan di zaman modern yang penuh dengan keterbukaan, kesetaraan, interaksi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya (ini adalah anugerah peradaban bagi manusia) menjadi keniscayaan. Melihat yang berbeda sebagai yang setara, melihat yang minoritas sebagai unsur yang sama pentingnya dengan mayoritas. Kemudian melihat kesamaan sebagai titik temu (kalimatun sawa’), adalah sikap yang sudah mesti dibangun. Sikap inilah yang mesti tumbuh dalam melihat segala bentuk mobilitas dan perubahan di segala bidang yang teramat cepat terjadi.
Perubahan sosial (social change) yang terjadi dewasa ini terjadi begitu cepat dan masif, bisa membawa kepada hal-hal yang positif atau sebaliknya, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Perubahan dalam berbagai bidang itu bisa terjadi pada politik, ekonomi, budaya, pendidikan bahkan agama. Menyikapi ini dengan positif, sebagaimana tuntutan prinsip pluralisme akan menjadikan kehidupan kemanusiaan menjadi lebih kaya dan dinamis. Akan tetapi menjadi tidak konstruktif (bahkan bisa destruktif), ketika perubahan yang disertai penambahan frekuensi keberagaman tidak dihadapi dengan sikap matan.
Dalam agama misalnya, keberagaman dalam bidang ini juga cukup tinggi. Walau agama mulanya adalah turunan dari susunan dogma langit, akan tetapi pada bentuk teknisnya telah menjadi bentuk interpretasi yang nisbi belaka. Penyikapan yang tidak arif terhadap tafsiran relatif inilah yang bisa menimbulkan kekacauan (chaos). Sebaliknya, mengutamakan kerjasama positif dapat menciptakan keteraturan (cosmos). Sejarah panjang agama-agama di dunia telah menceritakan keduanya.
KERUKUNAN UMMAT PENENTU KEMAJUAN INDONESIA?
Peran Agama dan Bangsa sebagai penjaga tradisi tersebut justru dapat menjadi alat untuk membangun solidaritas mekanik. Karena dalam rekam jejak kiprah agama, kekuatannya terletak pada kemampuan menyediakan kerangka simbolik yang dapat menyatukan masyarakat. Emile Durkheim mengatakan bahwa kualitas kepaduan dan keharmonisan sebuah masyarakat akan memancarkan kualitas keagamaan. Semakin harmonis sebuah masyarakat akan semakin meningkatkan kualitas keagamaannya dan semakin maju, dan itu bisa menjadi suatu lingkaran korelasi, bahwa semakin tinggi kualitas keagamaan dan kemajuan, akan semakin mencerminkan adanya keharmonisan di masyarakat. Karena itu, banyaknya konflik yang mendera suatu negeri menandakan bahwa kualitas keberagamaan penduduk negeri tersebut kurang baik.
Maka untuk sekarang ini sudah saatnya membangun perdamaian dunia dengan spirit agama. Komitmen ini diharapkan dapat memberikan kontribusinya bagi proses sosialisasi dan penyadaran hidup damai sekaligus untuk mempersempit ruang konflik agama di dunia global. Kini, sudah saatnya hidup damai abadi; tidak ada lagi konflik dan perang yang terjadi di muka bumi ini. Sejarah hidup umat manusia harus menjadi sejarah yang damai tanpa konflik.
Dalam konteks ini, upaya yang paling memungkinkan bagi kita adalah mendefinisikan kembali hidup toleran dan damai. Paradigma hidup toleran dimulai dari sikap keberagamaan yang hanief, seperti yang menjadi ajaran Islam, bahwa hidup adalah untuk kedamaian, bukan untuk kekerasan. Di dalam Islam, hubungan antara warga dalam suatu komunitas diatur dengan prinsip kerjasama, toleransi, dan ajakan damai. Masyarakat Madinah adalah bukti konkret betapa komunitas Islam hidup damai antar etnik (suku, kabilah) dan agama.
Seperti pernah dikisahkan dalam suatu hadits, “Ketika datang rombongan Nasrani Najran berjumlah lima belas orang yang dipimpin oleh Abu al-Harits, Rasulullah berdialog dengan mereka dan mempersilahkan mereka untuk melakukan ibadah di Masjid Nabawi, sedangkan Rasulullah beserta sahabat shalat di bagian lain”. Bahkan, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah adalah semangat pencarian kebenaran yang lapang (al-hanifiyah al-samhah)”. Pernyataan Nabi SAW ini memberikan dasar bagi terwujudnya masyarakat, bangsa dan agama yang toleran. Sehingga, Islam dalam sejarahnya adalah agama toleran, inklusif, dan damai.
Islam sesungguhnya tidak mengajarkan kekerasan dan kerusakan di muka bumi. Karena Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semua alam). Islam tidak sekedar menjadi rahmat bagi pengikutnya, tetapi lebih dari itu menjadi rahmat bagi pengikut agama lain, umat lain, dan bahkan semua mahluk yang diciptakan Tuhan. Inilah yang ditunjukkan oleh Muhammad SAW kepada semua umat sejak di Mekah sampai di Madinah. Karena itulah, seorang orientalis asal Perancis, Louis Gardet sampai menyebut model masyarakat Islam klasik sebagai “masyarakat inklusif” (mujtama’ munfatih). Yakni, masyarakat yang tidak bersikap keras dan radikal terhadap komunitas lain (outsider community). Dengan demikian, cita-cita ideal komunitas Islam benar-benar terwujud dan menjadi referensi historis untuk melanjutkannya di masa sekarang.
Nabi-nabi sebelum Muhammad pun, seperti Musa (Yahudi) dan Isa (Kristen) selalu mengajak cinta kasih kepada umatnya. Sehingga secara teologis, semua agama mengajarkan kedamaian dan persaudaraan. Kesatuan transendental agama di dunia ini adalah persaudaraan, perdamaian dan cinta kasih. Sebab, agama tidak mengajarkan kekerasan dan kekacauan yang bertentangan dengan cita-cita kemanusiaan universal.
Dalam konteks inilah, kita sekarang ini sangat mendambakan bangsa yang toleran di Indonesia demi masa depan kemanusiaan universal. Maka, dengan semangat agama yang toleran, bangsa kita akan menjadi bangsa yang maju. Cita-cita ini adalah gambaran asli dari keberagamaan yang otentik di dalam komunitas masyarakat dan bangsa yang plural. Ini dilakukan demi terciptanya komunitas plural yang toleran dan inklusif. Sekat-sekat primordial-keagamaan tidak boleh lagi menghalangi pergaulan antaragama,antarbudaya, antaretnis kebangsaan. karena inilah tantangannya di dalam masyarakat plural. Dengan pijakan agama yang jelas tentang hidup toleran, Indonesia sebagai bangsa yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia diharapkan dapat mewujudkan hidup secara damai dan toleran. Keyakinan keagamaan yang tidak radikal akan mengantarkan pada kenyataan positif untuk hidup bersanding dengan agama lain secara wajar. Hidup bersama tanpa penghalang keyakinan, agama, dan identitas kelompok (etnis) akan menjadikan bangsa kita sebagai bangsa yang terbuka dan maju. Kesemuanya ini adalah cita-cita kita semuanya sebagai umat manusia, tanpa melihat identitas etnik dan agamanya. Paradigma hidup toleran adalah tujuan kita sebagai bangsa yang menjunjung harkat keberbedaan dan sedang menghadapi tantangan pluralitas yang terkoyak. Inilah yang dimaksudkan “ UMAT RUKUN-INDONESIA MAJU” .
Epilog:
Kementerian Agama RI mengusung tema Ummat Rukun Indonesia Maju, sebagai pemerintah yang berperan strategis dalam merekatkan keummatan, dengan mengembangkan ruang untuk berdialektika dengan realitas sosial dan kultural masyarakat. Yang terpenting adalah bagaimana pemeluk dan penganut agama Islam bersikap moderat dalam segala lini kehidupan. Inilah sesungguhnya makna dari konsep Ummatan Wasathan, Ummat, Pemeluk Agama yang berkarakter moderat, berada di tengah-tengah dalam aspek prilaku keberagamaan, tidak ekstrim kiri-tidak ekstrim kanan, berada pada posisi ta’adul, tawassuth dan tasamuh. Upaya kearah perubahan prilaku pemeluk agama, dipandang perlu untuk merubah mindset berpikir dan berpijak dengan mencermati dan menerapkan secara aplikatif dan fungsional kerukunan ummat agar substansi Kementerian Agama RI dalam mengawal salah satu misi agama Islam sebagai Islam rahmatan lil alamin¸(tentu juga misi-misi agama lain yang diakui oleh Negara) menjadi penyangga kedamaian dalam segala keberagaman dan keberagamaan. Dirgahayu Kementerian Agama RI semoga tetap menyebarkan kebijakan yang mencakup semua kebajikan untuk semua golongan dan semua ummat.