NW ONLINE – Artikel: Islam dalam Dinamika Masyarakat Modern, oleh; Firad Wijaya, S.Pd.I.,M.A (Dosen Tetap IAI Hamzanwadi NW Lombok Timur).
A. Pendahuluan
Pada saat sekarang ini kita hidup di zaman yang mengalami perubahan sosial yang sangat drastis. Munculnya pemahaman atau ideologi baru yang beragam di harapkan mampu membawa perubahan ke arah yang lebih maju tanpa mengalami krisis nilai. Perubahan juga terjadi dalam gagasan kelas sosial, etnis dan bangsa. Meskipun cara, sifat dan kedalmannya atau tingkatannya berbeda-beda.
Kita perlu memikirkan pertanyaaan penting bagi masa depan untuk mengantisifasi dinamika masyarakat bangsa dalam Islam. Akankah perbedaan pandangan pemikiran dan budaya akan menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai suatu agama yang menganjurkan kasih sayang dan keseimbangan? dimanakah kebaikan-kebaikan yang ada dalam al-Qur’an dapat ditemukan dalam memaknai kemajemukan berbangsa dan beragama saat ini? apakah kemajemukan ini membuat kelompok agama tertentu tersingkir? apakah pemikiran tentang pluralisme dapat dijadikan jawaban terhadap persoalan kemajemukan yang berkembang di Indonesia? apakah ada korelasi antar pluralisme dengan gagasan pemikiran Islam nusantara?.
Berangkat dari fenomena-fenomena di atas, kita juga perlu mengacu kepada historis masa lalu Islam. Bagaimana Islam bisa bertahan dalam keragaman dan perbedaan yang ada?. Dari fenomena tersebut yang berkaitan dengan topik yang pemateri bahas yaitu berkenan dengan Islam dalam dinamika masyarakat bangsa dalam artian Islam selalu bergerak dan berkembang sehingga dapat menyesuaikan terhadap keadaan sekarang. Seiring dengan perkembangan tersebut kita bisa merasakan berkembangnya ideologi barat yang mempengaruhi Islam seperti pluralisme yang di gagas oleh Frithjof Schuon. Dari gagasan Frithjof Schoun inilah muncul berbagai macam aliran pemikiran seperi Empirisme, Rasionalisme, Humanisme, Eksistensialisme, Materialisme, Marxisme, Kapitalisme, Liberalisme, Skepsitisme, relativisme, dan Agnotisme.[1]
Sangat banyak sekali ideologi Islam yang muncul seiring perkembangan zaman, disini penulis mencoba mengkasifikasikan secara garis besar ideologi yang cukup berkembang pesat dan cukup di kenal oleh masyarakat bangsa belakangan ini, yaitu :
- Radikalisme
Di awal abad ke-21, pasca runtuhnya orde baru kesempatan politik semakin terbuka yang dimotori oleh gerakan reformasi Indonesia. Hal tersebut juga mendorong gerakan mobilisasai secara transparan dalam ruang publik. Perubahan iklim politik pada masa reformasi juga berpengaruh terhadap perkemabangan kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia.
- Pluralisme
Frithjof Schoun [2]adalah penggagas paham pluralisme agama yang berkembang pesat dan memepengaruhi ideologi saat ini. Berdasarkan epistimologi Schoun manusia sangat terkait dengan tubuh (body), otak (brain), dan hati (hearts), dan pusatnya adalah intelektual manusia (the centre human being). Kemudian intelek manusia juga ambigu pada satu sisi ia bersifat ketuhanan pada sisi lain ia bersifat manusiawi dan intelek manusia menggabungkan eksistensi pikiran dan badan yang terpisah kepada sebuah kesatuan wujud murni (pure being) yakni tuhan. Dan pokok pemikiran schoun pada akhirnya adalah dapat berdikari dari wahyu dan bahkan lebih tinggi dari wahyu.
- Liberalisme
Liberalisasi Islam di Indonesia, bisa dikatakan dimulai pada awal tahun 1970-an. Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Nurcholish Madjid[3], secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam. Dalam makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Nurcholish Madjid menyatakan[4] :
“pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan pada masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang ini…” Untuk itu, menurut Nurcholish, ada tiga proses yang harus dilakukan dan saling kait-mengait: (1) sekularisasi, (2) kebebasan intelektual, dan (3) ‘Gagasan mengenai kemajuan’ dan Sikap Terbuka”.
Demikian seruan liberalisasi Nurcholish Madjid, di awal 1970-an. Sejak itu, banyak pihak memanfaatkan semangat dan pemikiran itu untuk menggulirkan ide-ide liberal lebih jauh di Indonesia.
Daftar Pustaka
Armas, Ad-din, Pluralisme Agama Telaah Kritis Cendikiawan Muslim, INSISTS: Jakarta Selatan, 2007.
Adian Husaini, liberalisasi islam di indonesia, Jurnal 2015.
[1] Ad-din Armas, Pluralisme Agama Telaah Kritis Cendikiawan Muslim, INSISTS: Jakarta Selatan, 2007. Hlm.4
[2] Frithjof Schuon, seorang tokoh Muslim kelahiran Swiss yang memiliki pengalaman spiritual yang dalam dan intelektual religius yang kritis dalam bidang pluralitas agama, Tesis Muhtasar Samsudin, S2 Ilmu Filsafat 2015, hal 7.
[3].Nurcholish Madjid, (lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 – meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun) atau populer dipanggil Cak Nur, adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai aktivis & kemudian Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia menjadi satu-satunya tokoh yang pernah menjabat sebagai ketua Umum HMI selama dua periode. Ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Nurcholish pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada tahun 2005. Malik, Dedy Djamaluddin; Ibrahim, Idi Subandy (1998). Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran & Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman Wacana Mulia, hlm 112.
[4] Adian Husaini, liberalisasi islam di indonesia, Jurnal 2015, hlm.1