NW Online | Kamis, 13 Juni 2019 06:00
Ma’had adalah bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan Nahdlatul Wathan. Ia lahir dari kematangan berpikir pendirinya, kematangan pengalaman mendirikan berbagai madrasah dengan berbagai jenjang. Kematangan berijtihad dalam dunia pendidikan formal. Kematangan formulasi metodologik-pedagogik yang menghendaki adanya madrasah atau pendidikan yang khusus mengkaji kitab-kitab warisan para guru beliau di Makkah al-Mukarramah.
Ma’had kemudian lahir menjadi semacam laboratorium kader Nahdlatul Wathan. Tahun-tahun awal pendirian MDQH thullabnya ramai. Angkatan demi angkatan terutama angkatan I-V rata-rata thullab barunya seratus duaratusan orang. Murid-murid awalpun merupakan murid-murid luar biasa dengan didikan lansung dari Maulana. Tahun 1990-an samapi 2015-an jumlah thullab barunya rata-rata dikisaran 400-1000 orang. Rata-rata thullab Ma’had di tahun-tahun ini sejumlah 2000 s.d 3000-an orang. Ma’had menjadi barisan pertama dalam perjuangan Nahdlatul Wathan.
Tidak ada madrasah yang membuat Maulana al-Syaikh begitu cinta selain Ma’had. “Ma’had taoqne tumpah kesyukuranku”, tegas Maulana Syaikh. [Ma’had adalah tempat kesyukuranku yang sempurna]. Beliau memujinya dengan penghormatan yang sempurna dan thullab thalibatnya diikrarkan sebagai anaknya, bahkan menjadi anak lelaki Maulana al-Syaikh. “Aku hanya memiliki dua anak, perempuan, kalianlah Ma’had menjadi anak lelakiku”. Bahkan beliau pernah berkata atas kekagumannya pada lulusan MDQH, “seandene araq ma’had banat laeq ie genku bait”. [Seandainya ada perempuan alumni Ma’had dahulu, dia yang akan saya ambil (nikahi)].
Ma’had menjadi kenang-kenangan terindah yang didirikannya di atas dunia dan sempat disaksikan kejayaan serta keagungannya ketika hayat. Inilah yang membuat Sang Maha Guru-nya jatuh hati yakni Maulana al-Syaikh al-‘Allamah As-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi. Karamah dan rasa cinta Sayyid Amin Kutbi terungkap melalui pujian dalam untaian puisi arab. Sebuah puisi keramat yang dikeluarkan sebelum Ma’had lahir. Sayyid Amin Kutbi bersumpah telah jatuh cinta kepada Ma’had yang belum lahir. Subhanallah, walhamdu lillah.
Jika NWDI lahir lebih awal dengan segala kelebihannya maka Ma’had adalah menjadi tumpuan terakhir Maulana yang kelahirannya dari karamah guru-gurunya. Ma’had bukan sematan hasrat Maulana al-Syaikh namun yang terpenting adalah karamah beliau dan karamah gurunya Maulana al-Syaikh Sayyid Amin al-Kutbi. Fi sahatil ‘ilmi lahu ma’hadun layabrahu thullabu fi dhillihi. Setiap kata dalam penggalan puisi ini adalah kata-kata karamah, fi sahatil ‘ilmi, lahu Ma’hadun, layabrahu thullabu fi zhillihi. Belum lagi penggalan lain: yanhadu binnasy’i ila mustawa. (lihat teks lengkapnya di bagian akhir.
Ibarat hubungan asmara, Ma’had adalah cinta terakhir Maulana al-Syaikh. Ma’had lahir sebagai respon dinamika pendidikan nasional yang melaju cepat. Laju yang mengantarkan kemajuan duniawi namun juga tantangan bagi diniy. Ma’had-lah yang menyambung mahabbah ‘ilmiyyah Maulana dengan Madrasah al-Shaulayiyyah. Inilah cinta terakhir beliau yang tak tergantikan. Inilah cinta abadi dan cinta terakhirnya. Madrasah, sekolah, organisasi menjadi alat, bukti, saksi bahwa di masa hayat beliau kecintaannya kepada perjuangan agama tidak bisa dipungkiri. Subahanallh.
Sumber: Buku Ketiga Trilogi Cinta Maulana “Barakah Cinta Maulana” (Catatan Murid Maulana, dari Majlis Al-Aufiya’ wal-Uqala’)