Tak mudah melukis keindahan ketika kita terlalu terpesona dengan sajian keindahan seketika itu juga. Kita tak mungkin memikirkan detil suatu keindahan ketika belum berusaha secara total pada upaya memak-nai apa itu keindahan. Keindahan kerap menjadi sangat bermakna ketika kita mengulang dan memberi makna ulang pada keindahan itu. Demikian halnya ketika membaca. Membaca berulang itu adalah mengulang keindahan.
Saat terindah bagi santri Nahdlatul Wathan adalah saat bersimpuh di hadapan guru. Indah terasa indah. Namun keindahan itu ternyata pahatannya semakin terasa indah melalui perenungan demi perenungan setelah tidak di madrasah lagi. Kita bisa memaknai ulang makna didikan, makna kebersamaan, makna keikhlasan, makna keriangan, makna letih dan juga sedih. Ada kadang terasa ada ketika telah tiada.
Salah satu keindahan tiada tara adalah pernah belajar langsung kepada Maulana al-Syaikh atau belajar langsung kepada murid Maulana al-Syaikh. Alhamdu-lillah. Berbahagialah dengan keindahan itu karena pernah datang belajar di haribaannya, menyelami samu-dera ilmu, berenang dalam lautan hikmah, memandangi mutiara indah dan yang terpenting menuai barakah.
Namun…
Adakah keindahan itu bisa digambarkan sebagai yang terbaik jika dibandingkan dengan didatangi oleh Maulana al-Syaikh untuk diajar. Maulana al-Syaikh sendiri datang mengajar ke rumah kita?
Sore itu Majlis al-Aufiya’ wal Uqala’ kedatangan tamu aneh yang juga ternyata murid Maulana al-Syaikh. Kedatangannya spesial karena Sang Ummi bintu Maulana al-Syaikh berkenan hadir dalam majlis mudza-karah sekaligus makan malam yang penuh hikmah. Murid itu berasal dari wilayah Jawa Timur. Seorang laki-laki berumur kepala enam lebih. Perawakannya tidak tinggi dengan wajah seperti orang kapal. Benar, ia adalah orang kapal, tepatnya anak buah kapal (ABK). ABK kapal pesiar mewah yang pernah menyinggahi hampir seluruh pelabuhan yang ada di dunia. Jember tanah kelahirannya. Ia menghabiskan sebagian masa hidupnya mengapung di atas lautan. Di wajahnya tergurat jelas bahwa laki-laki tersebut adalah lelaki petualang. Murid itu bercerita tentang bagaimana ia “menjadi”, yakni menjadi murid Maulana al-Syaikh.
Ia bercerita bahwa suatu ketika saat kapal pesiar transnasional yang menjadi rumah apungnya merapat di dermaga Surabaya, ia sempatkan menemui istrinya. Ia berharap itulah sua cinta dengan suka cita jumpa dalam rindu yang tertanam dalam. Ternyata dijumpainya istrinya dalam kondisi sakit yang amat sangat. Ia pun bertekad untuk mengobati istrinya. Istri yang telah memberinya penerus. Itulah upaya pengobatan dalam tekat bulat yang mengubah jalan hidupnya seratus delapan puluh derajat. Pengobatan yang membuka mata ratusan orang tentang kebenaran Islam.
Ia tidak memikirkan biaya demi biaya yang akan dihabiskannya. Ia mendatangi setiap dokter yang diprediksinya dapat menyembuhkan istrinya. Semua dokter terbaik pernah didatanginya. Ikhtiar untuk mengobati istrinya secara medis demikian sempurna. Ia telah melarung hasratnya sebagai wujud kecintaan pada istrinya. Ia menggamit keyakinan bahwa ia pasti akan mendapatkan dokter yang tepat untuk mengobati istrinya. Namun apa hendak dikata, nyaris tiada yang dapat mengobati istrinya setelah pintu demi pintu rumah sakit ia datangi. Sakit sang istri hampir tak berujung. Dokter manapun telah menyerah sudah.
Ia pun mencoba usaha demi usaha lain. Ia menyisir gereja demi gereja untuk menemui sang penjaga iman dan keyakinan jamaah Katolik. Ia masih percaya dalam sekian alfanya di atas lautan bahwa pendeta pasti mampu mengobati istrinya. Setiap mimbar khutbah pendeta di gereja demi gereja ia datangi. Ia ceritakan tuntas kondisi istrinya yang mengidap penyakit aneh. Aneh karena seluruh dokter spesialis atau dokter ternama telah ia datangi. Ujungnya nihil tanpa hasil. Istrinya pun kambuh dan kambuh. Para pendeta juga akhirnya terpaksa menyerah.
Akibat kegigihan dan harapnya yang terlampau tinggi pada pendeta untuk kesehatan istrinya ia pun pulang dalam pasrah. Ia kehilangan pegangan. Ke-datangannya menemui para pendeta itu justru telah merapuhkan imannya. Ia hampir tidak lagi percaya pada sajian iman baptisnya. Ia tidak lagi menaruh hormat pada petinggi agamanya. Paling tidak ia mulai meragukan pendeta-pendeta Katolik yang ia jumpai. Parah sudah.
Dalam perjalanan imannya yang hampir rapuh dengan asa yang tak tertahankan untuk menyaksikan kesembuhan istrinya ia pun berikhtiar dengan mendatangi kiyai. Kiyai? Benar, kiyai. Ia lupakan sejenak iman Katoliknya bahkan ia mengabaikannya. Ia hanya berharap istrinya sembuh dan sembuh. Kiayi demi kiayi ia datangi. Hampir semua kiyai di daerah tapal kuda area pesisir Jawa telah ia sambangi. Sowan ke para kiyai. Ia hanya berharap kesembuhan, kesembuhan dan kesembuhan istrinya semata-mata. Puluhan kiyai dia datangi. Ia menyisir rumah-rumah kiyai yang dikabarkan memiliki keampuhan doa, kemujaraban mantra. Ia nafikan iman kristiani, untuk tujuan yang dinilainya suci dan terpuji.
Sepulangnya dari puluhan kiyai yang membuatnya letih jasmani dan imani, ia pun stress berat bahkan depresi. Ia nyaris tidak percaya kepada siapa-siapa lagi. Ia memaki dan menistakan para pendeta. Ia caci-maki para kiyai. Ia mengumpat dan menyumpah serapah para dokter yang dinilainya tidak becus. Pada harapnya terutama kepada sang tokoh agama para penjaga imani tersebut ia memaki sejadi-jadinya. “Apa artinya dekat dengan tuhan, apa artinya? Apa artinya menjadi pendeta menjadi kiyai dengan simbol-simbol keagungan dan kebanggaan dekat kepada tuhan?”, demikian makiannya.
Lelaki petualang itu ternyata manusia yang gigih hasil tempaan badai dan gelombang lautan. Ia tampaknya tidak menyerah dalam makian-makian yang menenggelamkan prinsip dan keyakinan. Huh!!!, ia pun kembali lagi ke altar gereja. Ia masih menyimpan harapnya bahwa tuhan itu masih ada di sana, meski bukan memelas pada pendeta. Tuhan masih ada. Ia pun munajat bermodalkan sisa kepercayaannya pada tuhan sesuai persepsinya. Di tengah munajat itu, dia langsung memohon kesembuhan istrinya. Di tengah doa demi doanya yang lirih, ia mendengar suara sepintas melintas: “shalat, shalat, shalat”. Ia melanjutkan doanya lagi, terdengar lagi suara yang hampir berbisik itu, berulang dan berulang.
Ia pun menuntaskan doanya itu lalu terpekur dalam bingung sepanjang jalannya kembali ke rumahnya. “Mengapa shalat?’’, pikirnya. “Shalat itu kan ibadah orang Islam? Saya kan pemuja Maria, ya nggak mungkin lah”, igaunya. Ia pun shalat, atau lebih tepatnya belajar shalat dengan mengikuti saja gerakan shalat orang-orang di masjid dan mushalla yang ia kunjungi. Berkali-kali dilakukannya kebiasaan mendatangi orang-orang yang shalat.
Ajaibnya, istrinya pun sembuh berkat shalat itu. Ia pun semakin gigih belajar shalat meskipun ditertawakan bahkan diolok-olok oleh karib kerabat. Ia enteng saja berpikir yang penting istri saya sembuh. Ia pun membaca berbagai buku tentang Islam dan terutama tentang shalat itu. Ia layaknya orang gila dalam usahanya dan juga gila dalam menikmati hari-hari yang riang gembira. Istrinya tercinta telah seperti sedia kala.
Dalam usaha demi usaha kesembuhan istrinya itu, ia didatangi oleh lelaki berjubah putih. Wajahnya putih bersih berperawakan tinggi. Kedatangannya tiba-tiba saja pada saat belajar ruku’ dan sujud itu. Jangan tanya tentang bacaannya, saat itu dia nyatakan belum bisa. Lelaki itu dikiranya makhluk halus, jin atau setan. Ia mencoba bertanya, apakah setan atau jin atau makhluk halus lainnya yang ada di hadapannya. Sang lelaki misterius itu kemudian menyodorkan pas foto ukuran kecil kepadanya. Murid Katolik yang bernama Soedarmaji tersebut menerima foto laki-laki berjubah itu seraya mengamati foto dalam kesungguhan menatap lelaki yang berada di hadapannya. Foto ajaib itulah penghubung keyakinan antara kenyataan alam gaib dan keajaiban foto dari gaib yang benar menjadi kenyataan. Ia pun yakin sungguh, yang dihadapannya benar-benar manusia.
Dalam sekian kali pertemuannya dengan lelaki tersebut, ia pun diajarkan shalat dan pelajaran agama lainnya. Sebelum shalat ia diajarkan berwudlu’. Ia ditegur dengan jenaka (ditertawakan) bahwa bagaimana mungkin shalat diterima jika tidak didahului wudlu terlebih dahulu. Lelaki humanis nan misterius itu masih sempat bercanda. Dalam keyakinan yang utuh bahwa sang pengajar adalah manusia bukan makhluk halus, maka berlangsunglah belajar agama secara privat itu selama tiga bulanan. Pelajaran itu berlangsung selepas amaliyah di remang malam. Lewat ajakan shalat, shalat, shalat untuk kesembuhan.
****
Cuplikan dari buku Karamah Cinta Maulana
Dari Majlis al-Aufiya’ wal-Uqala’
Penulis: Muhammad Thohri, Lalu Muhyi Abidin, Khairi Yasri, Fahrurrozi, Zakaria, Zainuddin, Lalu Mustajab, Lalu Fauzi Hariadi, Nurkholis Muslim, Hurnawijaya Muhtamin, M. Gufran Haramain, Nurul Muttaqin
Cuplikan dari buku Karamah Cinta Maulana
Dari Majlis al-Aufiya’ wal-Uqala’
Penulis: Muhammad Thohri, Lalu Muhyi Abidin, Khairi Yasri, Fahrurrozi, Zakaria, Zainuddin, Lalu Mustajab, Lalu Fauzi Hariadi, Nurkholis Muslim, Hurnawijaya Muhtamin, M. Gufran Haramain, Nurul Muttaqin