Menjadi Muslim Millenial
L. Muh. Ade Ilham Bakrie
(Master of Tafsir, Univeritas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)

nwonline.or.id – Abstrak

Islam rahmatan lil alamin adalah sebuah diktum universal yang merefleksikan semangat seorang muslim menjadi muslim yang tidak pernah surut dari zaman ke zaman di setiap era dan peradaban. Islam menjadi konsep idiologis paling representatif dalam menjawab kompleksitas permasalahan dari dunia hingga akhirat. Islam menjadi tonggak dan titik tolak paling sempurna dalam memproyeksikan keberhasilan, kesuksesan, dan prestasi. Iya Itulah Islam, tapi muslim belum tentu. Islam dan muslim adalah dua variabel berbeda. Menjadi muslim belum tentu sesuai dengan semangat kemuliaan Islam, disinilah terjadi “fajwah baynal islam wal muslimin” kesenjangan antara Islam dengan muslim. Islam sebagai entitas statis akan tetap dalam kemuliaannya, tapi muslim sebagai entitas dinamis tidak selalu dapat mewakili keindahan islam yang dianutnya. Demarkasi terbesar antara Islam dengan muslim adalah intervensi peradaban. Menjadi Muslim Millenial, jawaban terbaik dari akulturasi Islam, Muslim, dan Peradaban.

Kata Kunci: Islam, Muslim, Millenial

Islam rahmatan lil alamin, adalah sebuah termiologi yang memiliki banyak dimensi perspektif. Diantara tafsir Islam rahmatan lil alamin adalah bahwa Islam memiliki kualitas universal. Universalitas Islam sebagai sebuah entitas kepercayaan dan kompilasi tata aturan bermakna Islam haruslah bersifat adaptif dan sesuai dengan berbagai kondisi dalam segala waktu dan tempat, tidak terkungkung dalam batas ruang dan waktu/ spasial. Islam sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad pada abad ke 6 Masehi faktanya tidak pernah hadir dalam ruang vakum budaya dan kepercayaan. Keadaan itu membawa pada konsekuensi logis dan implikatif bahwa dalam kiprah dakwahnya, Islam harus memiliki karakter kompatibel dalam memandang konstruk sosial yang berbeda. Proses akulturasi antara Islam dengan berbagai kebudayaan dan pranata sosial di seluruh dunia adalah sebuah keniscayaan. Namun faktanya upaya sinkretisasi ini memang tidak pernah berjalan mudah, Islam dengan ruh transendental yang kuat berhadapan dengan dinamika peradaban yang profan dan berorientasi materialis dehumanis terlihat sangat kontras.

Di era millenial ini, dalam berbagai kasus sering terlihat ketimpangan dari hasil kolaborasi Islam dengan unsur-unsur budaya tersebut. Keadaan disequilibrium itu bahkan tidak jarang harus mengorbankan sisi substansial dari Islam. Geliat dan pesatnya peradaban bahkan sering mendistorsi sisi vital dan sakral dari seorang muslim. Alih-alih memposisikan Islam sebagai katalisator kemajuan, justru Islam dianggap menghambat agresifitas inovasi dan kebebasan. Paradigma stereotip tentang Islam sebagai penghambat itu mengakar bukan hanya bagi non-muslim atau atheis namun juga di kalangan muslim millenialis. Sebuah arus ketidakpahaman akan melihat Islam dengan kemajuan dengan sudut pandang dikotomik yang tak mungkin disatukan, benarkah demikian?

Disini, vitalitas sebuah agama diuji, sejauh mana signifikansi agama mampu mengakomodir kemajuan yang tidak hanya berorientasi ukhrawi namun juga duniawi. Mengambil makna luas dari sebuah adagium “Islam sholihun li kulli zaman wa makan/Islam selalu relevan dengan perkembangan zaman. Berangkat dari sini kita menspesifikasi Islam ke dalam dua spektrum realitas, yakni Islam sebagai “Dien/Agama” dan Islam sebagai “Hadaroh/Peradaban”. Spektrum yang pertama berkarakter parametris, vital, rigid, total, dan universal, sedangkan spektrum yang kedua berkarakter kompatibel, dinamis, situasional dan fleksibel (spacial-temporal). Pada spektrum yang dinamis inilah seorang muslim diberikan ruang untuk mentranslasi nash dengan konsepsi rasio dan intelegensi sesuai tuntutan zaman. Seorang muslim dituntut untuk terus progresif bukan regresif, memperjuangkan kondisi sejahtera (welfare) tanpa harus menyulut situasi keribut (warfare), terus mengejar ketertinggalan (cultural lag) baik dari sosio-ekonomis, saintek dan tantangan etis religius.

Dalam perjalan historis, hakikatnya Islam tidak menutup diri dengan kemajuan peradaban, bahkan Islam telah memiliki kemampuan untuk berdialog secara harmonis dengan perkembangan zaman, iya, apapun zamanya. Yusuf Al Qaradawi menyebut dalam “Al khasais Al-Ammah lil Islam” bahwa kemampuan Islam beradaptasi dengan zaman telah teruji dan terbukti dari esensi Islam itu sendiri. Menurutnya Islam memiliki empat frekuensi yang menjadi ruh kemajuan, dimana dengan ruh ini Islam memang “seharusnya” selalu relevan dengan segala zaman, yakni frekuensi rabbaniyah (bersumber dari Tuhan dan terjaga autentisitasnya), frekuensi Insaniyyah (sesuai dengan fitrah dan demi kepentingan umat manusia), frekuensi wasatiyah (moderatif dan paripurna) serta frekuensi waqi’iyah (kontekstual/compromtable).

Dalam perkembangannya banyak tantangan yang menghadang muslim mencapai kemajuan, diantara yang paling krusial adalah dari sisi sosio-ekonomis. Terakhir dari data 2019 secara faktual jumlah populasi manusia di dunia sudah mencapai 7,7 Miliar dengan sekitar 25% diantaranya adalah beragama Islam/muslim. Sayangnya, secara demografi sebagian besar muslim adalah warga negara di negara yang sedang berkembang (developing country) yang umumnya menempati dunia bagian selatan dan memiliki karakteristik yang tergolong masih kurang memuaskan, seperti: Tingkat pertumbuhan penduduk tinggi, tingkat produktivitas rendah, tingkat kematian tinggi, dan tingkat kesejahteraan rendah. Tantangan berikutnya adalah tantangan sains dan teknologi. Akselerasi arus globalisasi menjadikan dinamika hidup manusia di zaman millenial ini begitu kompleks, dimana kesibukan millenialis hanya akan berkutat pada “bussines-science-technology”, sebuah sirklus yang bertujuan menghasilkan produk semaksimal mungkin dengan pekerjaan seminimal mungkin, menuntut super efisiensi, standardisasi, spesialisasi ketat dan sistematisasi tinggi. Sirklus keras seperti ini pada akhirnya sangat mungkin berefek negatif bagi kondisi spiritual, membentuk tatanan manusia menjadi mekanis, materialistis, mengarah pada dehumanisasi, dan tidak memiliki orientasi panjang apalagi orientasi ukhrawi.

Disinilah, seorang muslim harus mampu menerima realitas dan segera bergegas mengambil posisi terbaik. Posisi yang bagaimana?, dalam perspektif dogma Wasatiyah Islamiyah, posisi strategis muslim adalah posisi moderatif-inklusif, artinya setiap muslim yang terlahir di era ini dituntut untuk (1) Bersikap konvergentif-terbuka (open minded), memiliki wawasan keilmuan agama dan cakrawala pengetahuan umum yang luas sehingga dapat membentuk pemahaman yang lebih toleran terhadap pemahaman yang berbeda (2) Bersikap aktif-partisipatif, mampu beradaptasi dengan perkembangan peradaban dan realitas kemajemukan (3) Bersikap kooperatif-karitatif, peduli pada asas-asas perdamaian dan mampu mengikuti tata aturan yang meregulasi segala bentuk kebaikan kapan dan dimanapun (4) Bersikap Kreatif-Inovatif, mampu memanfaatkan segala potensi yang dimiliki untuk menjadi hal yang lebih bermanfaat dalam menjawab segala persoalan kehidupan baik personal maupun sosial (5) Bersikap moderatif-kompetitif, mampu terus mengejar keberhasilan-keberhasilan/prestasi demi prestasi dengan tetap menjaga kesuburan kehidupan spiritualnya.

Akhirnya, semoga kita semua diberikan kemudahan untuk menuju kebaikan, Aamiin.
Jakarta, 21 Ramadhan 1441 H.