NW Online | Selasa, 09 April 2019 23:00

Bagi warga Nahdlatul Wathan baik nama maupun gelar itu adalah kehendak Maulana. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Tuan Guru Bajang sebagai gelar dan Zainuddin Atsani sebagai nama tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dalam sejarah pendidikan pemilik dan pemberi nama, keduanya memiliki keunikan. Pendidikan Muhamammad Zainuddin I dan II sama yakni alumni Madrasah al-Shaulatiyyah, madrasah kalsik pertama di Jazirah Arabia.

Foto Sumber Utama Barakah al-Madrasah al-Shaulatiyyah

Nama al-Syaikh Zainuddin sebagai ulama dan tokoh pendidikan nasional semakin terkenal lewat karya fenomenal historik-heroik yang unik. Karya beliau adalah madrasah klasik pertama di kawasan Bali-Nusatenggara. Madrasah itu bernama Arab: نهضة الوطن  , yang ditulis dalam aksara latin dengan Bahasa Indonesia Edjaan Soewandi 1947 menjadi Nahdlatul Wathan Dinijah Islamijah (disingkat NWDI).

Foto Madrasah Bersejarah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyyah

Madrasah ini merupakan pusat edukasi sekaligus markaz perjuangan kemerdekaan. Madrasah NWDI adalah darah, semangat dan air mata. Oleh karenanya Maulana al-Syaikh menemai diri beliau tersulam dan terangkai indah dengan nama madrasah pertama dan utama tersebut.

Sebagai nama perjuangan nama Zainuddin terekam dalam akronim lengkap dengan produk perjuangannya. Nama perjuangan atau نهضوي  لقب itu adalah: HAMZANWADI

HAMZANWADI adalah Haji Muhammad Zainuddin Nahdlatul Wathan Dinijah Islamijah. Hamzanwadi kemudian menjadi nama tetapi bukan menjadi nama  persona atau perseorangan. Hamzanwadi nama bagi pergerakan perjuangan. Jika diurai kata Hamzanwadi akan memunculkan nama persona dan nama lembaga yakni Haji Muhammad Zainuddin sebagai nama pribadi dan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah sebagai nama lembaga. Perpaduan nama pesona dan nama lembaga itu melahirkan nama gerakan perjuangan bernama Hamzanwadi.

Hamzanwadi adalah nama Maulana Syaikh dan Zainuddin Atsani. Hamzanwadi bagi Zainuddin Atsani bukanlah identitas untuk mencari popularitas. Hamzanwadi bukanlah gelar khormatan untuk mencari ketenaran. Beliau sendiri menyatakan nama Zainuddin Atsani adalah nama yang berat. Menyandang nama Muhammad Zainuddin Atsani adalah menyandang ulama’ besar yang harus dijalani dalam kondisi serba berat. Hal itu karena penamaan Muhammad Zainuddin Atsani adalah amanat. Dapat dibayangkan seorang anak yang masih belita diberi nama seorang ulama’ besar dan dihitung sebagai orang kedua oleh pemilik nama besar itu.

Beliau juga menjelaskan bahwa gelar Tuan Guru Bajang adalah beban sekaligus amanah, pujian sekaligus hikmah. Dapat dibayangkan siapa yang sanggup menyandang gelar Tuan Guru di usia masih belum sekolah. Secara pribadi dan itu manusiawi sang pemilik nama Zainuddin Atsani menyandang nama dan gelar dari kakeknya adalah seperti menanggung beban semesta yang dijalani semata hanya titah Maulana. Di Tahun 2016 beliau menyatakan keberanian itu bahwa beliau adalah Hamzanwadi kedua seperti kenyataan beliau adalah Muhammad Zainuddin kedua.

Berpuluh-puluh tahun beliau memendam saja siapa diri belau sesungguhnya. Masyarakat luas yang mencoba menakar keyakinan tentang siapa beliau tidak memiliki sumber referensi untuk dapat meyakini sepenuhnya siapakah sosok pemilik nama besar itu. Hal itu karena beliau diperintah untuk khumul tatau memendam diri dan di tahun 2016 hikmah terpendam itu muncul membesar bukan hanya sebatas tunas. Kemunculannya di permukaan menjadi fenomena sekaligus ujian khususnya bagi para penempuh jalan perjuangan Nahdlatul Wathan.

Pemilik nama Hamzanwadi adalah pribadi yang tegas. Maulana al-Syaikh tegas, Ummi Raihanun tegas, Lalu Gede Wiresentane tegas, Zainuddin II tegas. Lalu Gede Wiresentane dan Zainuddin II adalah ayah-anak yang sama-sama tegas dalam menegakkan kebenaran. Keduanya sama-sama lembut pribadinya dan mudah terharu. “Siapa yang menentang Ninik tiang, dia akan berhadapan dengan Zainuddin Sani”, itu pernyataan tegas Zainuddin II dalam diskusi dengan TGH. Mahmud Yasin, Allahu yarham.

Banyak isyarat yang menunjukkan bahwa dalam menempuh titah sebagai penerus Maulana tidak seluruhnya bisa dilihat secara nyata lalu diyakini sepenuhnya. Akan tetapi karena hikmah, titah itu semuanya laksana teka-teki dan misteri seperti karamah demi karamah Maulana. Sungguh banyak barakah menjalankan Sami’na wa Atho’na pada kakek dan orang tuanya.

Sumber: Haryadi, F dan Tohri. 2018. Mengenal Penerus Maulana. Mataram: UNW Mataram Press