NW ONLINE – Transformasi Juang untuk Indonesia Maju. Itulah motto Himmah NW hari ini. Motto itu tercetus setelah saya berdiskusi panjang dengan dua Senior saya, Prof Fahrurrozi Jempong dan Abdul Gaffar Mamben.
Tersusunlah diktum sederhana yang merepresentasikan free-will kehimmahan. Diformalkan dalam Renstra Himmah NW 2021 – 2025 dan dikukuhkan di arena Hadi Himmah NW ke 55 silam.
Transformasi Juang menggambarkan keinginan kita untuk berbenah. Melakukan pembaharuan di semua lini, terutama sekali paradigma dan aksi kita menatap masa depan.
Meminjam istilah Giddens, terdapat obsolence (keusangan paradigma) yang mengekang cara pandang dan perilaku, membentuk rutinitas yang berkepanjangan, menyeret kita jauh dari nilai-nilai relevansi zaman.
Cara pandang dan perilaku itu, sayangnya begitu melekat dan membudaya sehingga terasa sensitif jika diinterupsi. Para “korban obsoteleness” akan cepat marah dan mengamuk. Namun mereka yang tetap berada dalam paradigma usang, seperti kata Hegel, tidak akan mencapai aktualitas : berlama-lama dalam abstraksi, dan cahaya mereka mati.
Kita butuh de-rutinisasi, memperbaharui (atau meninggalkan) apa-apa yang telah usang, sembari menyambut moderatisme dan keterbukaan.
Transformasi adalah jalan menuju organisasi yang terbuka. Namun kita menyadari bahwa transformasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Maka sebelum memulai, kita dapat mempersiapkan diri dengan tiga prakondisi.
Pertama, bersungguh-sungguh menjadikan Himmah NW sebagai public sphere. Suatu sphere di mana setiap orang setara dari sisi kemanusiaan. Setiap orang berhak berpendapat, berhak dihargai, berhak didengar.
Maka feodalisme senioritas seharusnya menjadi masa lalu. Jika pun tidak bisa dihindari, cukuplah sebagai dimensi etik yang menjadi rule dan esensi berinteraksi. Dengan demikian, symbolic power hingga symbolic capital dapat dipegang siapa saja, menggelinding dalam arena intelektualitas, tidak dimonopoli oleh kalangan tertentu semata.
Kedua, bersungguh-sungguh memosisikan kembali Himmah NW sebagai salah satu social entity dari realitas kebangsaan dan realitas keislaman. Dengan menyadari diri sebagai entitas itu, kita tidak menjadi eksklusif dan arogan. Kita menyadari NW adalah alat, bukan tujuan.
Dengan demikian, tidak ada dis-orientasi, menghabiskan waktu dengan persoalan-persoalan mikro, konflik-konflik yang tidak perlu, kepentingan-kepentingan individual. Ketiga, bersungguh-sungguh mengarahkan Himmah NW sebagai medium kontribusi.
Indoktrinasi telah usai. Romantisisme telah selesai. Kita tidak bisa menjadi zoe, meminjam istilah Agamben, manusia yang telanjang dari pernak-pernik kemajuan.
Kaderisasi bukan untuk membentuk pejuang-pejuang status quo. Himmah NW memiliki kapasitas diskursif untuk mendefinisikan keadaan dan melakukan pembaharuan.
Transformasi Juang, dengan demikian, merupakan cara melewati batas-batas practical consciousness dalam berorganisasi.
Kita mungkin jarang bertanya tentang rutinitas, seolah-olah semuanya berada dalam taken for granted knowledge.Semua telah dibenarkan, semua telah diandaikan.
Namun ketika rutinitas tersebut justru melahirkan stagnasi, kita mempunyai naluri instrospeksi dan mawas diri (reflective monitoring of conduct) yang lebih kuat dari asumsi-asumsi tentang kemapanan.
Bagaimana Transformasi Dijalankan?
Transformasi Juang memiliki empat substansi. Pertama, pembaharuan paradigma. Suatu resources yang membentuk mindset. Kita tidak mempertanyakan Islam Aswaja sebagai aqidah dan ideologi.
Kita tidak pula sedang mempertanyakan prinsip sami’na wa atha’na dan trilogi perjuangan sebagai nilai-nilai. Kita ingin memperbaharui cara memahaminya, cara mengaktualisasikannya, agar selaras dengan nafas zaman.
Aqidah, ideologi dan nilai-nilai selalu normatif. Mungkin cara memahaminya yang salah. Dengan memperbaiki cara memahami, kita dapat mencegah lahirnya sikap eksklusif, fanatik buta, dan terjebak pada lingkaran tradisional. Kedua, pembaharuan sistem. Suatu tatanan yang mengatur laju gerak organisasi.
Himmah NW telah melewati beberapa tahun setelah lahirnya perubahan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, peraturan-peraturan organisasi, hingga sistem kaderisasi. Beberapa tahun itu mungkin bukan waktu yang cukup, tetapi kita dapat mengatakan sudah saatnya menunggu hasil.
Kita tentu tidak menginginkan hasil yang stagnan. Sebab menggambarkan dua kemungkinan : sistem yang tak kunjung kontekstual, atau keseriusan kita yang tak kunjung maksimal. Ketiga, pembaharuan perilaku. Kita sedang berjuang untuk membangun perilaku rasional dan terbuka. Kuncinya adalah wawasan. Semakin luas wawasan, semakin ideal perilaku. Orang menyebutnya “jam terbang”.
Kita ingin membentuk perilaku yang kuat dan stabil. Tidak gampang tersulut, selalu terbuka dan responsif dengan dialektika zaman. Namun sekali lagi, kuncinya adalah wawasan. Sementara wawasan tidak dapat diluaskan dengan bermalas-malasan. Atau sedu-sedan menangisi keadaan. Atau marah-marah dengan kreasi orang.
Wawasan dibentuk dengan ilmu pengetahuan, luasnya pergaulan, rutinnya kolaborasi, konkritnya visi ke depan. Keempat, Pembaharuan Kultur. Pada dasarnya, kultur akan berubah seiring dengan transformasi paradigma, sistem dan kualitas perilaku personal.
Sebab dimensi-dimensi itulah yang menjadi dasar terwujudnya suatu kultur dalam setiap organisasi. Dengan demikian, perubahan kultur adalah wajah transformasi kita. Kultur yang baik akan selalu membawa komunitas ke arah yang lebih progresif. Ia menggambarkan citra dan identitas. Dan substansi kultur yang hendak kita tuju tidak lain adalah moderatisme dan keterbukaan.
Kita menyadari bahwa jalan transformasi masih panjang. Berbenah di dalam kondisi nyaman terkadang akan dianggap resistensi. Harapan besar kepada seluruh pimpinan Himmah NW mulai dari tingkat komisariat hingga pusat untuk terus mengawal dan mengembangkan agenda-agenda transformatif secara berkelanjutan.
Meminjam kata Prof Fahrurrozi, siapa lagi jika bukan kita. Akhirnya, saya atas nama seluruh mahasiswa Nahdlatul Wathan mengucapkan selamat Hari Jadi ke 57 Himmah NW.
Pokoknya NW, Pokok NW Iman dan Taqwa. Transformasi Juang untuk Indonesia Maju. Himmah NW Jayalah selamanya.
Mataram, 5 Juni 2023 | Muh. Alwi Parhanudin (Ketum Pimpus Himmah NW)