NW Online | Senin, 21 Oktober 2019 07:00
Tepatnya pada hari Selasa malam Rabu, 20 Jumadil Akhir 1418 H./21 Oktober 1997 M. Pukul 19.57 WITA. Telah wafat sosok ulama besar. Imam Akhir Zaman. Raja Para Waliyullah. Pahlawan Nasional asal NTB. Al-‘Alimul Al-‘Allamah Al-‘Arifubillah Kutubul Aqthab Maulana Asy-Asyaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul madjid Al-Anfanany Al-Amasyhur (Pendiri NWDI, NBDI dan NW) di tempat kediaman beliau di komplek “Al-Abror” Pondok Pesantren Darunnlatain NW Pancor Lombok Timur.
Menjelang Wafat Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Al-Anfanany
Pada tahun-tahun terakhir dari kehidupannya, karena kendatipun fisik beliau kian melemah, ditambah lagi dengan penyakit yang diderita beliau, yang menyebabkan beliau tidak bisa lagi berdiri, namun semangat juang beliau tidak pernah pudar. Beliau tetap mengisi pengajian rutin di mushola Al-Abror setiap pagi. Beliau juga sering menghadiri berbagai acara di dalam komplek Pondok Pesantren Darunnahdlatain NW Pancor, meskipun berada di atas kursi roda. Pada waktu-waktu tertentu beliau juga menyempatkan diri dengan ditandu berkeliling mengadakan pemeriksaan ke madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah yang ada di lingkungan Pondok Pesantren Darunnahdlatain NW.
Demikian juga walaupun dari atas pembaringan, beliau tetap melaksanakan misinya sebagai ulama’ tenaga Amar ma’ruf nahi mungkar. Kepada para tamu dan murid yang datang berziarah, beliau berikan nasihat dan arahan agar tetap istiqomah dalam berjuang dan agar iman taqwa tetap dipupuk dan ditumbuhkembangkan. Dari atas pembaringan itu pula beliau menerima para wartawan yang datang mengadakan wawancara. Dari atas pembaringan itu pula beliau mengendalikan Organisasi Nahdlatul Wathan sebagai Rais ‘Am Dewan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Wathan. Dari atas pembaringan itu pula beliau merencanakan dan mengendalikan jalannya pembangunan gedung Perpustakaan Birrul Walidain dan gedung-gedung madrasah yang ada di lingkungan Pondok Pesantren Darunnahdlatain NW.
Mengenai bagaimana keadaan beliau di tahun-tahun terakhir kehidupan beliau lalu salah seorang cucu beliau, Lale Al-Yaqutunnafis, S.Sos., salah seorang cucu beliau yang sehari-hari melewat merawat beliau menuturkan sebagai berikut:
“Pagi Jumat hari pertama bulan puasa 1416 H./1996 M., Ninikda Maulana Syaikh jatuh sakit. Sakit beliau disebabkan karena meminum obat pelancar buang air besar yaitu HERBALAC, sehingga cairan sangat banyak keluar. Pagi itu juga beliau gemetar, tidak kuat duduk apa lagi berdiri, dan akhirnya beliau pingsan kurang lebih 2 jam. Kemudian beliau diinpus dan pada saat beliau sadar beliau ditawarkan makan, tapi beliau tidak mau karena belum saatnya berbuka puasa. Apapun alasan yang dikemukakan agar beliau mau makan, tetapi beliau tetap menolak, padahal kondisi beliau sangat lemah dan harus makan dan minum untuk mengganti cairan yang keluar. Melihat keadaan yang mengkhawatirkan itu dengan berat hati beliau dibohongi bahwa waktu berbuka telah tiba. Itupun berkali-kali diberi yakinan baru beliau makan bubur Cereal dan air susu. Alhamdulillah, sejak saat itu beliau pun punya tenaga dan mulai berbicara dan mengenal satu persatu cucu beliau dan orang-orang yang datang menjenguk.
Setelah beliau menyadari bahwa kondisi beliau sangat lemah dan atas saran dokter serta keluarga, maka beliau tidak melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh dan beliau meminta kepada cucu beliau untuk menggantikan puasa beliau akibat dari sakit beliau itulah, maka beliau tidak dapat berjalan sebagaimana biasanya dan aktivitas beliau berdakwah ke desa-desa beliau wakilkan kepada para Masyaikh, sedangkan untuk setiap pagi, beliau tetap memberikan pengajian di Mushala Al-Abror yang terletak di dekat ke dan beliau.
Selama beliau sakit, beliau selalu menyebut pengajian-pengajian yang beliau kunjungi, dan beliau selalu mengingatkan para Masyaikh dan panitia pengajian untuk meneruskan pengajian di desa-desa sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Beliau tidak senang dan marah bila ada pengajian yang dikosongkan, bahkan beliau mengatakan dalam kondisi sakitnya yakni : “Pergi berdakwah, mengajar, berjumpa dengan murid-murid dan jama’ah pengajian menjadi obat saya dan membuat saya sehat.” Beliau juga mengatakan bahwa “Saya ingin seperti matahari yang tidak akan pernah berhenti berputar dan terus menerangi dunia, yaitu mengajar dengan memberikan pengajian-pengajian dari terbit fajar sampai tenggelam matahari.”
Dengan munculnya berbagai peristiwa di tubuh Organisasi Nahdlatul Wathan yang dicintainya dari sejak berdirinya sampai tahun-tahun terakhir kehidupan beliau, beliau banyak memberikan nasehat-nasehat untuk keutuhan dan meneruskan perjuangan NW.
Baca juga:
Data dan Fakta Sejarah Perjuangan Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
Meskipun kondisi beliau tidak dapat berjalan dan berpergian hanya berbaring, namun semangat dan kecintaan beliau tiada putus dan berubah sedikitpun.
Dalam kehidupan beliau sehari-hari, kami sebagai cucu-cucunya sejak masih kecil hingga jatuh sakitnya selama 2 tahun, beliau kami ketahui dan kenal penuh kedisiplinan, amanat adil bijaksana, kasih saying, pemaaf dan humoris, bahkan rasa marah atau perkataan marah (tidak senang) beliau tidak gampang untuk kita tebak, sebab hal itu beliau paparkan dengan sindiran, humor dan contoh-contoh yang diambil dari peristiwa-peristiwa sejarah pada masa Nabi serta terkadang beliau diam.
Pada tahun 1997 tepatnya hari Jumat sekitar pukul 10.00 WITA. setelah selesai pengajian di Mushala Al-Abror dan bertepatan dengan kembalinya saya dari ziarah makam Wali Songo di daerah Jawa Timur, tiba-tiba beliau memanggil saya, padahal kedatangan saya hanya diketahui oleh Ummi dan Ninik Rahmah. Ketika saya dipanggil dan setelah mengucapkan salam, saya duduk di samping pembaringan beliau, kemudian beliau bertanya tentang perjalanan saya ziarah ke makam Wali Songo di Jawa Timur, beliau berkata : “Bagaimana keadaan makam Wali Songo di Jawa yang telah Yaqut lihat?” “Bagus-bagus Nik dan banyak orang datang berziarah tidak mengenal pagi, siang dan malam, makam wali-wali itu terus dia ziarahi banyak orang.” jawab saya. “Namanya juga wali, pasti banyak yang cinta dan datang berziarah, dan nanti kalau saya, makamkan di sana dekat Al-Abror, antar saya ya?”, pinta beliau. “Kenapa Ninik berkata begitu, Ninik kan masih panjang umur,” kata saya. Setelah saya berkata begitu, beliau senyum dan tertawa, kelihatannya sangat senang dan bahagia. Kemudian beliau berkata: Yaqut tadi ke mana?” “Ke koperasi, kemudian saya pulang karena Ninik memanggil saya,” jawab saya. “Oh, ya. Ayo sudah selesaikan pekerjaan mu, Ninik mau tidur,” ucap beliau.
Setelah itu saya keluar penuh dengan perasaan bingung karena Ninik Tuan Guru berkata demikian. Setelah 4 hari kemudian, tepatnya pada hari Selasa malam Rabu, 20 Jumadil Akhir 1418 H./21 Oktober 1997 M. Pukul 19.57 WITA. di tempat kediaman beliau di komplek “Al-Abror” Pondok Pesantren Darunnlatain NW Pancor, beliau meninggal dunia dalam keadaan tenang, damai serta memancarkan cahaya di wajah beliau. “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun”. Demikianlah yang dituturkan oleh salah seorang cucu beliau.
Beliau meninggalkan seorang istri, yakni Hajjah Rahmatullah, dua orang putri yakni Hajjah Sitti Rauhun dan Hajjah Sitti Raihanun dan beberapa orang cucu.
Dengan wafatnya Maulana Syekh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, dunia Islam berkabung. Dunia Islam merasa kehilangan seorang ulama besar dan tokoh kharismatik dan penuh cinta kasih dan ketulusan. Sang pejuang sejati dan reformis yang mengabdikan seluruh harta benda dan jiwa hanya untuk pembangunan umat sebelum dan sesudah kemerdekaan Republik Indonesia sampai akhir hayatnya dalam usia 102 tahun 3 bulan 3 hari dalam hitungan kalender Hijriah.
Rasa kehilangan yang teramat sangat dan rasa iba yang teramat dalam mewarnai raut wajah dan gejala perasaan para penta’ziah yang menyeut dari sejak malam hari saat beliau menghembuskan napas terakhir hingga pemakamannya, Rabu 20 Jumadil Akhir 1418 Hijriyah/22 Oktober 1997 Miladiyah Pukul 15.30 Waktu Indonesia Bagian Tengah.
Ketika itu, sengatan panas teriknya matahari tidak membuat mereka beranjak dari lokasi pemakaman Sang Guru Tercinta. Rona wajah yang sendu dan rasa duka yang teramat dalam, isak tangis dan derai air mata tak lagi tertahankan manakala usungan jenazah mulai beranjak secara perlahan untuk diantarkan dan diturunkan ke liang lahat di pemakaman keluarga di sebelah timur Mushalla Al-Abror HAMZANWADI Pancor. Gema ayat-ayat suci dan doa disertai pembacaan Shalawat Nahdlatain mengiringi ketika liang lahat sedikit demi sedikit tertimbun tanah.
Inikah pertanda bahwa Allah menepati janji-Nya, yaitu mencabut sebagian ilmu-ilmu-Nya di dunia fana ini dengan memanggil kembali hamba-hamba pilihan-Nya, para ulama pewaris para Nabi? (Al-Hadits). Dan inikah bukti bahwa lahir dan mati merupakan rahasia Allah?
Memang kita tersentak karena tidak pernah terlintas di benak kita kalau secepat itu beliau dipanggil Allah Sang Maha Pencipta. Rasanya ingin kita tetap didampingi oleh beliau lebih lama lagi. Namun takdir Allah berbicara lain. Itulah keputusan Allah yang terbaik yang harus kita terima dan sesuatu yang niscaya bagi kita.
Selamat Jalan Sang Kekasih Allah, Selamat Jalan Sang Maha Guru Tercinta, Selamat Jalan Sang Pejuang Sejati, Selamat Jalan Sang Panutan Terpuji, Selamat Jalan Sang Pendiri NW. Insya Allah kami akan selalu mengenang jasamu dan Insya Allah kami tetap taat dan setia melaksanakan semua fatwa dan ajaranmu. Semoga engkau ditempatkan dalam Surga Illiyin-Nya. Doa kami senantiasa menyertaimu.
Berkah Doa Al-Fatihah
Mari kita hadiahkan al-Fatihah untuk Guru kita Al-‘Alimul Al-‘Allamah Al-‘Arifubillah Kutubul Aqthab Maulana Asy-Asyaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul madjid Al-Anfanany Al-Amasyhur
الفَاتِحَة لمولانا الشيخ محمد زين الدين عبد المجيد الانفناني المشهور بِأَنَّ اللهَ يَرْحَمُهُ وَيُعْلِي دَرجَاتِهِ فِى الْجَنَّةْ وَيُعِيْدُ عَلَيْنَا مِنْ أَسْرَارِهِ وَأَنْوَارِه وَعُلُوْمِه وَبرَكَاتهِ فِى الدِّينْ وَالدُّنْيا وَاْلأخِرَة بِسِرِّ الْفَاتِحَةْ…
Sumber Buku: Riwayat Hidup dan Perjuangan Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (Oleh: Drs. H. Abdul Hayyi Nu’man)
Artikel Terkait:
Pelantikan Sulthanul Auliya’ (Part 1) – Pelantikan Sulthanul Auliya’ (Part 2)