nwonline.or.id-TASAWUF: SOLUSI DEGRADASI MORAL MILLENIALIS
L. Muh. Ade Ilham Bakrie
(Thullab Mahad DQH NW Angkatan 55, Mahasiswa Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Era millenial yang ditunjukkan dengan merebaknya inovasi dalam segala bidang kehidupan, tak syak dapat dilihat sebagai dua sisi mata pisau. Berbagai terminologi bermotor “Industri 4.0” sebut saja seperti AI (Artificial Inteligence); Big Data; Augmented Reality; Cloud Computing; Cyber Security hingga Addictive manufacturing sudah siap menerobos sekat-sekat geografis (borderless), tak peduli tentang siap atau tidak masyarakat global terhadapnya (survival of fittest). Proses Digitalisasi sepertinya sudah memberi efek candu akut kepada masyarakat global (Global Citizen) hingga tak dapat terpisah dari konsep IoT (Internet of Thing). Proses efisiensi ini, tentu saja memberikan kontribusi positif dalam banyak hal, namun implikasinya berupa proses dehumanisasi yang kemudian menyebabkan “degradasi moral” adalah bayaran yang terlalu mahal untuk itu semua, karena produk berlabel semoderen apapun akan dirasakan terlalu “Over Price” jika harus mengorbankan kualitas akhlak manusia.
Degradasi moral/akhlak seperti itu, tentu saja akan terjadi secara mondial seiring dan secepat laju transaksi informasi di dunia. Sayangnya penularan prilaku (global invention-diffusion) seperti ini akan banyak mendalangi perubahan sosial (social change) terutama menyasar pada anak-anak usia muda yang notabene kurang mampu menyaring ragam informasi yang diterimanya. Meski memang tak dinafikan bahwa perubahan adalah bagian integral dari sunnatullah (natural law) yang pasti terjadi dan terus terjadi dengan pergantian waktu dan pergeseran zaman. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnyapun menandaskan bahwa tidak ada masyarakat manusia yang tidak berubah. Dalam bahasan perubahan inilah Al-Qur’an telah banyak memberikan inferensi dan mengarahkan untuk terus berubah dan bergerak hanya menuju kebaikan dan keadaan lebih baik (Ahsanil Hal) dan tidak malah terjerumus ke dalam hal yang lebih buruk sebagaiamana diproyeksikan oleh banyak pemikir barat (Donald E. Smith, Gabriel Almond, Lucien W. Pie, dan lain-lain).
Disinilah tasawuf mengambil peran yang strategis dalam kehidupan manusia, iya, tasawuf menyangkut perbaikan dan perlindungan aspek etika/ moral/ akhlak setiap muslim, sebab kebaikan etika adalah hak dan kewajiban yang paling esensial dan perenial bagi setiap manusia. Sebagaimana yang banyak dipercaya dalam teori environmentalis dan hereditarian, bahwa segala macam perubahan ligkungan akan selalu memberikan pengaruh baik dan/atau buruknya bagi individu manusia. Disinilah kemudian sisi etika/akhlak menjadi preferensi untuk mendapat perhatian di tengan Transfer of values and culture ataupun transfer of knowledge and skills yang tengah berada pada geliat peradabnnya. Dalam eskatologi keislaman, aspek akhlak ini tidak dapat di pandang sebelah mata, itulah yang mendasari, bahwa misi propetik pertama dan utama Rasul adalah untuk menjaga dan membangun umat, mulai dari yang paling mendasar, yakni akhlaknya (Liutammima makarimal akhlak/ itmamul khuluq).
Secara kosmik, pendidikan dalam Islam adalah pendidikan yang mendasar pada tiga tipologi, yakni tauhid, syari’at, dan tasawuf, ketiganya berjalan kelindan dan saling melengkapi satu sama lain (in complementary angle). Mempelajari tasawuf disini, tidak berarti akan menjadi pembatas seorang muslim dengan hal-hal duniawi secara total (sebagaimana ekstrimnya dipahami banyak orang). Namun dalam pendekatan yang lebih sederhana, tasawuf adalah model pendekatan yang mengutamakan keseimbangan dan kebaikan lahir dan bathin, aksi dan hati, sehingga akan dihasilkan pribadi yang seimbang dalam kesuksesan duniawi juga ukhrowi, dengan kata lain tasawuf justru mendukung kesuksesan duniawi, bukan malah menghasilkan paradigma yang pesimistis dan antitesis terhadap kemajuan dan peradaban dunia. Itulah mengapa secara ensiklopedis kita mengenal Umar bin Abdul Aziz sebagai seorang yang paham tasawuf (selanjutnya disebut sufi) namun juga memberikan perhatian terhadap dunia, sehingga dia mampu menjadi pemimpin pemerintahan yang penuh wibawa, Jabir bin Hayyan (seorang sufi sekaligus ilmuan dunia dalam bidang Kimia), Fariduddin Al Athar, Al Junaid, dan Abul Hasan Asyadzili, mereka semua adalah golongan sufi namun masih membagi perhatiannya terhadap dunia, sehingga sukses dalam perniagaan dan hal-hal duniawi lainnya, dan banyak lagi yang lain.
Fenomena problematis dari manusia kontemporer salah satunya pada degradasi moral/ terkikisnya nilai akhlak yang mendasari segala bentuk kebaikan sosial, sehingga tak jarang kita temukan tindakan-tindakan yang menciderai nilai-nilai dan hak asasi kemanusiaan yang lahir dari sikap rasialis dan sentimensi. Gejala-gejala dehumanisasi sebagai implikasi partikular dari geliatnya perkembangan zaman itu terjadi tak pandang bulu, dari orang awam sampai yang berilmu, bahkan agama malah oleh sebagian kelompok dijadikan “jualan” atau dasar pembenaran terhadap aksi nonhumanis yang dilakukan, bahkan ironisnya, kelompok seperti itu melakukan penegasan diri (self assertive) sebagai kelompok yang paling memahami agama, hingga lahirlah golongan fundamentalis radikalis, itu semua karena mereka memahami agama secara rigid dan salah (self alternative fallacy). Kemerorostan nilai kemanusiaan karena degradasi moral seperti ini pada akhirnya menimbulkan banyak tindak kekerasan, aksi-aksi terorisme, anti sosial, perlawanan dan peperangan.
Justru Islam sebagai basis ajaran dengan pendekatan tasawuf sangat mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan. Bahkan konsep ukhuwah/persaudaraan dalam Islam memiliki spektrum yang luas, disamping kerukunan seagama (ukhuwah islamiyah), juga memperhatikan kerukunan sesama bangsa (ukhuwah wathoniyyah), bahkan kerukunan antar umat manusia (ukhuwah insaniyah), dengan kata lain –meminjam istilah Fakkhrurrozi Dahlan- tidak hanya pada tataran “keshalihan personal” namun juga harus merambah pada “kesalihan sosial” atau istilah Farid Essack sebagai intereligius and humanism solidarity. Lebih lanjut Said Agil Siroj menyebutkan bahwa Islam adalah agama moralitas, dan tasawuf bukan sebagai aspirasi, melainkan menjadi insipirasi dan solusi etika moral kemanusiaan,.
Perlu juga dipahami bahwa dalam konteks ayat-ayat tentang kekaffahan Islam, menurut para ulama tafsir (seperti Al Alusi, Az Zarkoni, dan Az Dzahabi) tiga tipologi ajaran tadi (tauhid, syariat, dan tasawuf), selain memiliki bentuk legal formal, dia juga memiliki ruh sosial, dengan kata lain dituntut adanya keseimbangan esoterik dan eksoterik, dituntut untuk selain memahami dan mendalami ajaran juga harus memiliki rasa kemanusiaan dan menjaga keharmonisan dan etka/akhlak. Itulah mengapa tauhid dan Syari’at tidak cukup tanpa hadirnya kedamaian tasawuf, sebagaimana Imam Malik bin Anas menandaskan “ paham fiqh (syari’at) tapi tidak paham tasawuf itu zindik, paham tasawuf tapi tidak paham fiqh itu fasiq, sedangkan paham keduannya itu tahqiq/benar” (man tafaqqoha wa lam yatasowwaf faqod tazandaq, waman aksuhu faqod tafassaq, waman tafaqqoha wa tashowwaf faqod tahaqqaq).
Akhirnya dapat dipahami bahwa, ditengah peradaban yang kian maju, teknologi yang semakin mutakhir, dan segala hal yang serba mekanik dan digital, kita dituntut untuk tetap menjaga kualitas etika dan moral/akhlak dalam segala bentuk interaksi, baik fisikal maupun virtual, baik langsung ataupun via media. Kewajiaban menjaga etika dan nilai-nilai kemanusiaan tanpa sekat rasial adalah kewajiban yang dimiliki secara perenial dan absolut oleh setiap manusia. Bagi seorang muslim, tasawuf adalah media penggemblengan dua koneksi sekaligus, koneksi ketuhanan dan koneksi kemanusiaan. Tasawuf membentuk pribadi dengan kelembutan hati, keindahan budi pekerti, dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang asasi.