Tema Israiliyyat dalam penafsiran al Qur’an masih sangat urgen untuk dibahas, karena ada banyaknya mufassir yang ketika mengutip Israiliyyat tidak membedakan mana riwayat yang sahih dan man yang dhaif (lemah). Terkadang mereka memasukkan Israiliyyat yang berlebihan (diluar jangkauan akal manusia) khususnya berkaitan dengan ayat ayat yang menceritakan kisah nabi dan umat terdahulu. Terjadinya polemik tentang israiliyyat di kalangan para ulama’ ada yang melarang keras, membolehkan, dalam artian tidak membenarkan atau mendustakannya serta mendikusikan apakah riwayat tersebut sesuai dengan syariat Islam.
Al Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang ayat-ayatnya bersifat yahtamil wujuh al ma’na (memungkinkan banyaknya penafsiran). Hal ini kemudian menimbulkan keragaman pemahaman yang tidak jarang menimbulkan penafsiran yang menyimpang atau salah tafsir. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan kesalahan dalam penafsiran diantaranya adalah faktor keterbatasan kemampuan akal manusia dan subjektifitas seorang mufassir. Disamping itu sikap mufassir yang kurang hati hati dalam mencantumkan riwayat dan tidak selektif dalam menerima sumber-sumber dari luar Islam. Kesalahan tafsir dalam hal ini adalah menyimpang dari penafsiran yang lurus, dan tidak sesuai denga kaidah-kaidah penafsiran, jauh dari pokok-pokok yang benar dan sumber-sumber asli yang memiliki ketetapan dalam tafsir.
Masuknya Israiliyyat dalam Islam memang tidak dapat dihindari dari pembauran masyarakat Islam dengan ahl-Kitab di sekitar Jazirah Arab. Sebenarnya para Sahabat tidak mengambil berita dari ahlu al-Kitab dalam penafsiran kecuali sedikit. Namun seiring berjalannya waktu pada era tabi’in dan sesudahnya banyak yang mengutip kisah-kisah dari mereka. Para mufassir tidak terlebih dahulu mengoreksi cerita-cerita Israiliyyat yang mereka ambil, padahal diantaranya terdapat kisah kisah yang tidak benar dan bathil. Karena itu orang orang yang membaca tafsir mereka hendaknya meninggalkan dan tidak mengutip riwayat kecuali yang telah terbukti kesahihan dan kebenaran ceritanya.
Kitab Hasyiyah ash Shawi ala Tafsir Jalalain karya Ahmad bin Muhammad al Sawi al Maliki merupakan salah satu kitab klasik dalam khazanah tafsir yang banyak di kaji di pesantren-pesantren Nahdlatul Wathan, Ini tentu merupakan sesuatu yang sangat baik mengingat kitab tafsir dari kalangan Ahlussunnah ini penting untuk di kaji dalam rangka memperkuat paham aswaja dengan menampilkan dan mengenalkan karya intelektual ulama kepada para santri.
Ahmad bin Muhammad al Sawi termasuk ulama’ sunni yang berfaham Asy’ari dan bermazhab Maliki. Ia dikenal sebagai ulama’ yang ahli dalam tasawuf, fikih, qira’at, beliau mengarang Hasyiah al Sawi ala Tafsir Jalalain sebagai sebuah karya monumental dengan orientasi al Ra’yi dengan kajian yang sangat mendalam lengkap dengan aspek kebahasaan, gramatikal, dan qaul-qaul rajih. Dalam tafsir ini beliau juga terayata banyak memuat riwat-riwayat Israiliyyat.
Biogrfi Singkat Muhamamad Sawi al Maliki
Dalam beberapa literatur sejarah, perkembangan kekuasaan dinasti Mamluk di Mesir mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1769 M di bawah kepemimpina Ali Bey. Nama mamluk (yang dikuasai) merupakan diansti para budak yang berasal dari berbagai suku dan bangsa yang kemudian menciptakan suatu tatanan oligarki militer di wilayah asing. Para Sultan budak ini menegaskan kekuasaan merekan atas wilayah Suriah, Mesir yang sebelumnya di kuasai tentara salib. Fondasi kekuasaan Mamluk di pelopori oleh Syajar al-Dur, janda al-Salih (w. 1249 M) dari dinasti Ayyubiyah yang tadinya merupakan seorang budak dari Turki.
Pada saat itu lahirlah pengarah Tafsir Hasyiah Shawi ini. Ia bernama lengkap Ahmad bin Muhammad al-Sawi al-Misri al-Khalwati. Al-Sawi lahir di Sa’ al-Hijr, sebuah sebuah desa di pinggiran Mesir pada tahun 1175H/1761 M dan beliau wafat pada tahun 1241 H/1852 M. Syekh al Sawi merupakan pemimpin ulama’ al Azhar yang bermadzhab Maliki dan juga menganut ajaran sufi al khalwatiyah. Beliau juga termasuk ulama tafsir dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah yang terkemuka pada zamannya. Gurunya dibidang tarekat yaitu Syekh al Dardiri yang mempunyai gelar abu al-Barakat. Beliau ahli fikih yang terkemuka dari Mazhab Maliki yang produktif di bidang tasawuf, fikih, teologi dll. Imam al-Sawi dalam muqaddimah Tafsirnya mengatakan bahwa beliau memeiliki sanad atas tafsir Jalalain yang beliau berikan hasyiah, beliau menerima sanad sampai kepada pengarangnya. Asal usul sanad imam al-Sawi dimulai dari sawi sampai Imam Jalaludin al Mahalli dan Jalaludin al Suyuthi sebagai muallif (pengarang) kitab.
Pada tulisan ini penulis akan mencoba membahas beberapa riwayat Israiliyyat yang ada dalam kitab tafsir karangan Imam al-Sawi ini. Berikut beberapa riwayat Israiliyyat yang ada dalam kitab tafsir Hasyiah sl Sawi :
Pertama, kisah Ismah al anbiya’ dalam QS. al–A’raf 189-190
Kisah ini bercerita tentang syiriknya Nabi Adam, yang menurut mayoritas ulama tidak mungkin seorang nabi berbuat Syirik. Yaitu ketika nabi telah diturunkan di bumi dan kemudian diciptakanlah Hawa sebagai pendamping hidupnya, kemudian Nabi Adam menggaulinya (jima’) sehingga istrinya mengandung. Ketika Hawa hamil tua, keduanya berdoa memohon kepada Allah swt. Agar anak yang dikandungnya lahir dalam keadaan sehat maka mereka akan menjadi hamba yang bersyukur. Namun ketika anaknya lahir dalam keadaan sempurna dan sehat Adam dan Hawa berbuat syirik kepada Allah.
Dalam mengomentari hal ini Imam Shawi menyampaikan riwayat Israiliyyat yaitu ketika kandungan Hawa sudah tua iblis datang kepadanya dan menakutinya : Wahai Hawa apa yang engkau kandung diperutmu? Hawa menjawab : tidak tahu kemudian Iblis berkata yang kamu kandung itu sepertinya anjing atau kuda atau mungkin yang lainnya”. Selanjutnya Iblis berkata “dan kemungkinan itu akan keluar (lahir) dari matamu atau mulutmu atau perutmu akan robek mengeluarkannya”. Mendengar ucapan Iblis, Hawa menjadi takut dan khawatir dan menceritakannya kepada Nabi Adam dan kemudian Nabi Adam berdoa sebagaimana doa di atas. Kemudian Allah mengabulkannya dan anaknya lahir dengan selamat, Nabi Adam lupa dan berbuat syirik yaitu dengan memberi nama anaknya Abdul Harits (nama Iblis) yang artinya Hamba Iblis.
Menurut Imam Shawi memberi nama anak Abdul Harits bukan termasuk syirik dalam beragama (ubudiyah) tetapi hanya syirik dalam segi penamaan dan itu tidak mempengaruhi akidah karena seorang nabi adalah Ma’sum terhindar dari hal-hal yang merusak agama. Dalam menafsirkan ayat ini Imam Shawi juga menyampaikan sebuah riwayat dari Samurah dengan sanad yang gharib menurut Tirmidzi bahwasanya Nabi berkata ketika Hawa menagandung dan mau melahirkan, Iblis berpura-pura mengelilinginya dan sebelumnya Hawa juga mengandung dan anaknya meninggal. Kemudian iblis berkata namailah ia dengan Abdul Harits niscaya ia akan hidup, dan Hawa menamakannya Abdul Harits dan anaknya hidup maka itu merupakan wahyu setan (bisikannya).
Menurut Imam Shawi riwayat ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk menentukan syiriknya Nabi Adam, bahkan sebagian ulama mengatakan sanadnya tidak bisa diterima. Dalam menafsikran ayat ini ulama banyak yang terpeleset sehingga ada yang membenarkan dan ada yang menyalahkan, padahal dalam beragama kita harus yakin bahwa nabi adalah ma’sum tidak mungkin melakukan hal-hal yang merusak agama.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkomentar. Bahwa pembahsan ayat ini terdapat dua pendapat, pertama, QS. al A’raf 189 membahas tentang Nabi Adam dan Hawa dan ayat 130 membahsa tentang anak cucu Adam artinya anak cucu adam melakukan syirik dengan menjadikan anak yang dianugrahkannya sebagai sekutu bagi Alla swt. Kedua, dua ayat ini berbicara tentang anak cucu Adam artinya Allah menciptakan diri kalian dari yang satu kemudian dari dirinya diciptakan pasangan kemudian dianugerahkan anak. Selanjutnya kaliam menjadikan syirik atas anak yang telah diberikan dengan lupa dan kufur nikmat.
Kedua, kisah nabi Yusuf dan Zulaikha dalam QS. Yusuf 23 -24
Imam Abi al Fida’ Ismail Ibn Katsir al Quraysi dalam tafsir al Qur’an al Adzimnya menjabarkan beberapa pendapat mufassir tentang QS. Yusuf ayat 24. Menurutnya ada dua golongan ulama yang berpendapat tentang hal itu, pertama, sependapat dengan Ibnu Jarir dan lainnya yaitu yang mengatakan bahwa nabi Yusuf berhasrat dan yang kedua sependapat dengan al Baghawi yang mengatakan tidak berhasrat.
Dalam kisah ini Imam Shawi menjelaskan apa yang telah dijelaskan dalam tafsir Jalalain tanpa menyebutkan riwayatnya dengan jelas. Beliau mengatakan ketika Nabi Yusuf dikurung oleh Zulaikha di dalam kamar bersamanya antara keduanya terdapat rasa saling tertarik untuk berbuat zina baik itu nabi Yusuf sendiri maupun Zulaikha karena menurut penjelasan Imam Shawi hal ini merupkan sesuatu yang sudah lumrah sesuai dengan kodrat manusia. Yaitu saling ketertarikan antara perempuan yang sangat cantik dalam satu ruangan dengan pemuda yang sangat gagah dan tampan. Namun yang menghalangi yusuf untuk berbuat zina adalah petunjuk dari Allah swt (burhana Rabbi).
Menurut Muhamad Abu Syahbah termasuk Israiliyyat yang dusta dan tidak dibenarkan oleh dalil naqli dan aqli adalah penafsiran seperti apa yang dikutip Imam Shawi diatas. Sebagaimana kometar beliau terhadap tafsir yang disampaikan Ibnu Jarir, Imam Syuthi dalam kitab al-Dur al-Mantsur dan ulama lainya dalam menafsirlan ayat di atas. Menurutnya penafsiran tentang hasrat nabi Yusuf telah menyebutkan hal-hal yang bertentangan dengan Ismah anbiya’ (kesucian para nabi).
Ibnu Katsir menjelaskan Burhan Robbi yang dilihat nabi Yusuf, teradapat banyak cerita dan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Yusuf melihat bayangan ayahnya seakan akan memandangnya sambil menggigit jarinya. Al-Aufi dan Muhammad bin Ihaq mengatakan bahwa Yusuf melihat bayangan majikannya, suami Zulaikha di depannya saat itu. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Muhammad al Quradhi bahwa Yusuf ketika melihat ke atas pada saat itu dan melihat tulisan “Janganlah kamu mendekati zina karena itu adalah perbutan yang keji”. Pendapat-pendapat ini tidak ada yang didukung oleh dalil hujjah yang meyakinkan. Maka akan lebih baik jika dipahami sebagaimana firman Allah “Demikianlah kami memperlihatlan kepadanya (Yusuf) sesuatu tanda yang memalingkannya dari perbutan keji dan kemungkaran, karen dia adalah termauk hamba hambaku yang muhlis, suci dan terpilih”. Dari seluruh penjelasan di atas akan lebih baiknya kita mengadopsi pendapat Ibnu Katsir dengan mengikut pendapat Abu Hayyan dalam tafsirnya yang dinukil as-Sinqiti dalam Adwarul Bayan, pendapat yang rajih mengetakan Nabi Yusuf tidak pernah berhasrat terhadap Zulaikha, karena telah melihat Burhana Robbihi (tanda dari Tuhan).
Ketiga, kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis dalam QS. an–Naml 40-41
Dalam kisah ini kita akan diceritakan ketika Ratu Balqis diundang Nabi Sulaiman untuk berkunjung ke istana dan dia memenuhi undangan tersebut. Setelah sampai ke istana, Nabi Sulaiman mempersilahkan masuk namun sebelumnya Nabi Sulaiman telah membuat sebuah kejutan untuk Ratu Balqis, yaitu membuat istana yang di halamannya terdapat kolam yang ditutup dengan kaca (krisital) yang kuat sehingga bisa dilewati. Hal ini dikarenakan ada sbuah riwayat yang mengatakan bahwa kaki Ratu Balqis seperti kaki kuda. Kemudian dibangunlah kolam itu sebagai sarana untuk membuktikan riwayat tersebut. Perlu diketahui bahwa cerita itu adalah rekayasa (bisikan) dari Jin kemudian Nabi Sulaiman memerinathakn Jin untuk membuat kolam itu. Ketika Ratu Balqis ingin masuk ke dalam istana untuk menghadap Nabi Sulaiman, maka ia harus melewati kolam itu. Ratu Balqis mengira bahwa kolam itu adalah kolam yang sangat jernih dan banyak ikannya dan ia harus menyebranginya, jika ingin menghadap Nabi Sulaiman. Maka ia menyikap penutup kakinya hingga terlihat betisnya karena mengira itu sebuah kolam, namun ternyata lantai yang dilapisi kaca. Kemudian Nabi Sulaiman dapat melihat kaki Ratu Balqis dan membuktikan kebenaran riwayat berita tentang kakinya.
Dalam kisah ini, Imam Shawi tidak banyak memberikan komentar hanya menggaris bawahi ketika menjelaskan ayat (Wakasyaftu an Syaqiha) beliau mengatakan setelah kakinya tersingkap nabi Sulaiman segera memalingkan pandangannya. Sebagian ulama melihat kisah ini termasuk Israiliyyat demikian juga Nabi Sulaiman sebagai seorang Nabi ingin melihat sesuatu yang diharamkan oleh Allah swt. Karena seorang nabi adalah Ma’sum.
Menurut Abu Syahvah, Tafsir yang benar tentang ayat ini adalah keinginan Nabi Sulaiman ketika membangun istana dengan tujuan menunjukkan kebesaran kekuasaannya kepada Ratu Balqis. Allah memebri kekuasaan kepada Nabi Sulaiman, kekuasaan yang tidak diberikan kepada Ratu Balqis. Senadainya, Balqis tidak melihat agama yang kuat dan ahlak Nabi Sulaiman, niscaya ia tidak akan mematuhinya saat ia menyeru kepada Allah yanng maha Esa. Maka niscaya ia tidak akan menyesali penyembahan bintang bintang dan matahari yang dilakukan sebelumnya serta menyerahkan diri bersama Sulaiman kepada Tuhan semesta Alam.
Pendapat Ibnu Jaris, al Tsa’labi, al Baghawi dan al Khazin menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman ingin memeperistri ratu Balqis, lalu dikatakan kepadanya kakinya seperti kuku keledai dan perempuan yang kedua betisnya berbulu kemudian Balqis masuk ke istana ia menyangka ia kan menyebrangi kolam yang besar, kemudian ia menyingkap kedua betisnya untuk menceburkan diri, Sulaiman melihat Balqis seperti memiliki betis yang berbulu, Sulaiman tidak menyukainya dan menyuruh pelayan untuk mencukurnya.
Imam Ibnu Katsir menyebut riwayat di atas diambil dari ahli kitab yang terdapat dalam sahifah seperti riwayat Wahab bin Munabih dan Ka’ab al Akhbar. Semoga Allah mengampuni khobar bani Israil berupa hal yang mustahil dan kejadian yang tidak terjadi.
Demikian sebagian kecil kisah-kisah Israiliyyat yang ada di dalam kitab Hasyiah Sawi ala Tafsir Jalalain. Penting untuk diingat bahwa dalam hal pengutipan riwayat Israiliyyat ini memang ada tiga pendapat tentang boleh tidaknya meriwayatkan kisah Israiliyyat. Pertama, riwayat Israiliyyat yang diketahui kebenarannya karena sesuai ajaran Islam. Kedua, riwayat Israiliyyat yang diketahui kebohongannya karena bertentangan dengan ajaran agama. Ketiga, riwayat Israiliyyat yang tidak diketahui status kebenarannya dan kedustaannya karena tidak ada dalil agama yang menegaskan kebenaran atau kedutaannya. Bisa jadi, Imam Sawi mengutip pendapat ketiga, maka beliau bersikap hati hati (tawaquf) mendiamkan riwayat Israiliyyat dan menyerahaknnya kepada pedapat pembaca. Hal ini tentu menuntut kita sebagai pembaca untuk bisa menyimpulkan sendiri dan mengharuskan kita untuk menjadi pembaca yang kritis. Terutama dalam melihat riwayat-riwayat Israiliyyat dalam kitab ini.
Untuk pecinta tafsir klasik, kitab ini sangat direkomendasikan karena pembahasannya sangat komprehensif baik itu ilmu Nahwu, Sharf, Fikih, Qira’at, tasawuf dan lain-lain. Sangat mencukupi dan juga bahasanya mudah dipahami. Walaupun masih ada kekurangan yaitu tentang Israiliyyat di mana kebanyakan kitab tafsir juga mengalaminya.
Abdul Malik Salim Rahmatullah, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar Kairo, Pendiri Syekh Zainuddin Institute. Pernah Nyantri di Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits Al-Majidiyyah Asy-Syafiiyah Nahdlatul Wathan Anjani.