NW Online | Rabu,3 Ramadhan 1440 H 10:00

Ketahuilah bahwasanya para ulama salaf sangat begitu perhatian terhadap masalah adab dan akhlak. Dan mereka pun mengarahkan murid-muridnya untuk lebih dahulu mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam khilaf ulama. Imam Darul Hijrah, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Dari sini dapat kita lihat bahwa kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab daripada ilmu pengetahuan? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,

بالأدب تفهم العلم

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Maka dapat kita ketahui bersama bahwa betapa agungnya adab dan dengan adab itulah sehingga dapat mengantarkan para penuntut ilmu menuju kepada pemahaman yang mudah. Sehingga para ulama mengajarkan adab, “ketika berhadapan dengan orang ‘alim jaga lisanmu, ketika berhadapan dengan wali Allah jaga hatimu”.

Kenapa bisa berbeda?

Ini terkait dengan yang biasa terjadi, yaitu seorang ‘alim akan selalu bicara ilmu, yang bila kita belum mengerti atau belum paham tentang ilmu tersebut akan memancing keinginan untuk membantah. Apalagi bila kita merasa lebih tahu dan lebih paham tentang suatu permasalahan, akan membuat kita ingin mendebat dan menunjukkan bahwa kita lebih tahu.

Karenanya, kita perlu menjaga lisan kita untuk tetap diam, menyimak dengan penuh perhatian dan adab. Toh andai kita tidak bisa menerima, cukup simpan dalam hati kita saja. Karena seorang ‘alim tidak akan berbicara berdasarkan kejahilan, pasti ada dasar hukum referensinya, baik disebutkan atau tidak olehnya. Dan kita, bila punya referensi berbeda, tak layak mengajaknya berdebat tanpa diminta. Karena bila demikian, justeru kita sedang menyombongkan diri di hadapannya.

Bukankah seseorang hanya akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang ia ketahui bukan atas yang orang lain ketahui. Dia bertanggungjawab atas ilmunya dan kita bertanggungjawab atas ilmu kita. Maka disinilah pentingnya adab berguru.

Adapun terhadap seorang waliyullah, kita tidak cukup dengan menjaga lisan atau diam lisan saja, tapi juga dengan diam hati. Karena seorang wali Allah adalah orang yang telah lebur dalam keesaan Allah, sehingga Allah adalah “lisan” yang dia berbicara dengannya, “pendengaran” yang dia mendengar dengannya, “penglihatan” yang dia melihat dengannya, atau sebagaimana disebut dalam hadits sebagai maqom Ihsan. I’tirodh/penentangan dalam hati terhadap manusia level ini risikonya berhadapan langsung dengan Allah. Apalagi bila dengan lisan atau dengan tindakan.

Hati seorang wali adalah “baitullah”, menyakiti hatinya bagaikan meruntuh Ka’bah. Ruhaninya selalu di hadrat Allah, mengganggu jasadnya, meski apapun perbuatannya, bagaikan menganggu orang yang sedang sholat menghadap Allah. Karenanya, tidak cukup dengan diam lisan saja, kita musti diam hati ketika berhadapan dengan manusia level ini. Bersikaplah seperti kita menerima hadiah parfume. Bahwa apapun merk-nya dan tipe wangi-nya, yang namanya parfume pasti dan selalu wangi.

Wallahul Muwaffiqu Walhadi Ila Sabilirrasyad