VIRTUALISME KEHIDUPAN:
MENAPAKI KEHIDUPAN BARU DARI IBADAH VIRTUAL, MUAMALAH VIRTUAL SAMPAI PAHALA VIRTUAL
Oleh:
Prof. Dr. TGH. Fahrurrozi Dahlan. QH., MA
(SEKJEND PBNW – GURU BESAR UIN MATARAM)

nwonline.or.id – Subhanallah wal hamdulillah, itulah ungkapan pembuka penulis untuk mengawali tulisan singkat ini. Kenapa mengawalinya dengan dua kalimat tersebut? Karena ungkapan itulah yang paling pantas untuk merefleksikan dinamika kehidupan kemanusiaan yang semua tak biasa dari kehidupan semula yang terbiasa. Kehidupan semula yang terbiasa, merasa biasa saja dilaksanakan dan dilaluinya, namun subhanallah, manakala kehidupan yang tak terbiasa dilaluinya, tentu sikap dan perasaan mengalami perubahan yang serba cepat bahkan instan yang bisa menyebabkan kekagetan sosial, kegagapan sosial, kepanikan sosial, kerepotan sosial, ke”pagah”an sosial, kerenggangan sosial, kecongkakan sosial, kejanggalan sosial bahkan kejengkelan sosial namun al-hamdulillah perlahan tapi pasti masyarakat yang kaget, gagap, panik, repot, pagah, renggang, congkak, janggal, dan jengkel berubah menjadi keberterimaan sosial,kerelaan sosial, kepasrahan sosial, kegirangan sosial, sampai keterbiasaan sosial.

Perubahan-perubahan pola kehidupan dan dinamika kehidupan sosial ini yang disebabkan karena adanya keterbatasan sosial akibat adanya kebijakan menjaga jarak interaksi sosial dan kedekatan dan kebersentuhan fisikal dan kerumunan sosial yang berubah menjadi serba virtual non-fisikal, meetual hanya via dunia daring dan video call yang lazim disebut media sosial yang kesemua itu, penulis sebut sebagai virtualisme kehidupan di mana virtualisme kehidupan itu terkandung maksud bahwa ada sikap dan pandangan kehidupan manusia dalam menyikapi dan menjalani kehidupan yang serba baru yang disebabkan oleh peralihan pola kehidupan mereka.

A. Virtualisme Kehidupan

Virtual itu merupakan istilah dalam dunia media, baik dalam dunia jurnalistik-broadcastik maupun dunia digital. Istilah Virtual reality (VR) ini sesungguhnya dipopulerkan oleh Jaron Lanier pada tahun 1980 sebuah teknologi yang memungkinkan seseorang melakukan sesuatu simulasi terhadap suatu objek nyata dengan menggunakan komputer yang mampu membangkitkan suasana tiga dimensi yang membuat pemakai seolah-olah terlibat secara fisik. Coba kita telisik sedikit ke KBBI tentang kata Virtual ini, dua makna, virtual itu maya, tidak nyata. Dan Virtual itu sesuatu yang Daring, nyata, bersifat jelas, terang, terbukti atau terwujud. Virtual juga sebagai kata sifat yang berkaitan dengan hasil budi pekerti bisa berupa karya buah pikiran yang bersifat maya, atau imajinatif namun bisa diaplikasikan juga oleh dunia perkembangan teknologi modern seperti internet.

Intinya Virtual itu dari interaksi dunia fisik menuju interaksi dunia non-fisik yang menyebabkan jarak tempuh jauh dan mahal menjadi jarak tempuh singkat dan murah dan tergantung fulsa dan sinyal.

Nah, virtual kehidupan menghendaki akan kemelekan sosial masyarakat akan dunia digital dan dunia 4. 0 bahkan era 5.0 yang semua serba fulsa dan sinyal. Ini artinya manusia yang dulunya berada dalam kehidupan serba manual beranjak menuju kehidupan sosial yang berbentuk virtual.

Perubahan pola inilah yang melahirkan terma baru berupa virtualisme kehidupan yang diakibatkan oleh teknologi virtualisasi yang melahirkan masyarakat virtual.

Masyarakat virtual lahir dari kehidupan yang serba cepat dan gampang sekaligus praktis, seperti Belanja On-line, transfortasi on-line, food on-line bahkan ibadah pun on-line.
Alhamdulillah itulah ungkapan pembuka itu terucapkan karena itu semua.

Kemudian, Muncul pertanyaan, apakah ada dampak perubahan sikap kehidupan masyarakat dalam aspek ibadah, muamalah, ataukah pahala?
Coba kita lihat satu persatu berikut ini:

B. IBADAH VIRTUAL

Ibadah virtual adalah pelaksanaan ibadah yang dapat dikategorikan sebagai istilah yang mungkin bisa terjadi pro-kontra di tengah masyarakat Islam. Namun yang dimaksud ibadah virtual di sini adalah ibadah yang disebabkan oleh adanya illah (العلة) penyebab ibadah yang sifatnya paten dan permanen (العزيمة) berubah menjadi dinamis dan diringankan (الرخصة). Banyak illat-illat yang dapat merubah pola ibadah itu, bisa karena faktor internal seseorang baik itu sakit fisik, lemah tenaga, khawatir akan keselamatan dirinya atau faktor eksternal, seperti berperjalanan jauh (musafir) atau karena na sebab wabah, wabak, musibah seperti korona ini. Khusus karena korona ini menyebabkan perubahan sosial yang sanagt drastis dan signifikan. Di mana semua ibadah yang tadinya harus dikerjakan secara berjamaah, berkumpul dan bersama-sama dalam jumlah yang banyak, semisal shalat Jumat, maka mau tidak mau harus diterapkan protap dan protokol prosedural Covid-19 ini dengan menggantinya dalam bentuk ibadah zuhur yang dikerjakan secara berjamaah di keluarga kecil mereka ataupun dikerjakan secara sendirian. Perubahan ini pun tak sedikit yang kontra terhadap kebijakan pemerintah dan Fatwa MUI pusat. Lagi-lagi karena belum terbiasa mengalami perubahan hal yang tak biasa dilakukan sehari-hari. Ibadah itu tentu tak bisa digantikan dengan media virtual sebab menyalahi tatalaksana syariah.

Namun virtual dapat memberikan penjelasan bahwa ibadah dengan menggunakan media virtual dapat memberikan pembelajaran dan pemahaman tentang seluk beluk ibadah dalam suasana pandemi Covid-19 ini. Atau bisa jadi juga ibadah-ibadah sunnah lainnya dapat disebut sebagai ibadah virtual seperti takbiran virtual, takbir pengganti takbiran keliling yang telah mentradisi di Indonesia. Sekarang harus mau berganti menjadi takbiran menggunakan media joint meeting, zoom meeting atau yang sejenisnya dengan melibatkan banyak peserta yang bertemu dan berinteraksi di layar HP, komputer masing-masing. Seolah-olah takbiran manual konvensional menjadi terwujud dan terwakili. Contoh lain ibadah virtual itu adalah zakat fitrah bisa menjadi ibadah virtual dengan menggantikan zakat fitrah dengan mengeluarkan beras atau makanan pokok masyarakat setempat bisa digantikan dengan uang seharga zakat fitrah itu dengan mentransfer sejumlah uang ke BAZNAS untuk disalurkan nanti kepada masyarakat yang berhak menerimanya. Perubahan ini lagi-lagi karena sebab mengurangi kontak fisik dan ketemu muka dengan banyak orang.

Coba kita lihat ibadah yang lain, ibadah haji, sampai sekarang ibadah haji maupun umrah belum dapat kepastian dari kerajaan Arab Saudi untuk dapat dilaksanakan atau tidak? Perubahan ini melahirkan terma baru dari konsep Isthitha’ah (الإستطاعة) kemampuan, bukan semata kemampuan finansial (الاستطاعة المالية) kemampuan fisik ( الإستطاعة الجسمانية) namun harus diberikan porsi khusus apa yang dimaksudkan dengan kemampuan keamanan dan keselamatan (الإستطاعة الأمنية والسلامة). Alasan tidak terpenuhi kemampuan yang ketiga ini banyak implikasinya terhadap bimbingan praktek ibadah haji dan umrah. Kemudian diganti dengan praktek ibadah haji dan umrah secara virtual guna menghindari kontak fisik dan kerumunan sosial demi meredam penyebaran wabah pandemik covid-19 ini.

C. MUAMALAH VIRTUAL

Aspek kedua yang tak kalah urgennya yang terjadi di tengah masyarakat akibat Covid -19 ini, yaitu aspek muamalah.

Aspek muamalah ini banyak sekali, mulai dari silarurrahim, jabat tangan, ziarah kubur, halal bi halal, makan bersama, zikir bersama, syafaah bersama, berbagi bersama dalam skala besar, semua harus dibatasi oleh SOP COVID-19 ini.
Silaturrahim jasadi harus tergantikan dengan video call, zoom meeting, joint meeting atau telecomprence. Ini tentu semua dalam ranah virtualisasi ibadah muamalah. Virtualisasi ibadah muamalah ini tentu ada positifnya juga ada sisi kurang puasnya. Namun paling tidak dengan menggunakan media virtual itu sedikit dapat mengobati kerinduan sosial masyarakat Indonesia terhadap sanak saudara dan handai tolan meraka di kampung nah jauh secara fisik antarmereka.

Jabat tangan virtual menggantikan jabat tangan visual dengan berpeluk mesra berrasa cinta dan kasih sayang, harus rela tergantikan dengan jabat tangan dengan berbagai emoji yang merefleksikan jabat tangan itu, tentu ini juga dapat termasuk dalam ungkapan Nabi Muhammad Saw.

مامن مسلمين يلتقيان ثم يتصافحان إلا غفر الله ذنوبهما قبل أن يتفرقا.(رواه البخارى و مسلم)

Tiadah dua insan yang bersua dan berjumpa kemudian berjabatan tangan, dapat dipastikan orang itu diampuni segala noda dosanya sebelum mereka berpisah.

Menarik dicermati makna hadis ini, yaltaqiyani berarti berjumpa, bertemu. Apakah perjumpaan dan pertemuannya secara fisik yang dekat? Hadis ini tidak merekomendasikan kontak fisik, liqo’ (لقاء) bukan muwajahah (المواجهة) lebih spesifik menjelaskan pertemuan wajah dengan wajah. Sehingga muwajahah lebih identik dengan pertemuan manual secara langsung, meski juga bisa disebut perjumpaan virtual semisal Facebook.

Bukan juga dengan istilah muayadah (المؤايدة)-(يدا بيد) berjabattangan bersentuhan langsung namun Nabi mengungkapkan dengan kata يتصافحان berjabat tangan dengan penuh kerelaan dan keikhlasan (الصفح) tidak ada lagi dendam kesumat, marah dan jengkel akibat perbuatan masa lalu namun semua itu terhapus karena kerelaan mau memaafkan atas segala khilaf meski tak perlu berjabatan tangan. Tak ubahnya kertas putih sebagai sebuah lembaran baru yang akan ditulis dengan dawat tinta kebaikan dan kebajikan meski secara virtualisasi. Di sinilah relevansinya (الصحيفة) lembaran-lembaran berserakan yang nantinya ditulis oleh juru tulis (صحافى) dengan penuh komitmen dan ketaatan (واعفوا واصفحوا).

Dengan demikian secara pahala tak ada beda antara pertemuan fisik langsung dengan pertemuan virtual sebab secara esensial telah memenuhi unsur saling memaafkan dan saling interaktif satu sama lainnya.

Coba lihat muamalah virtual lainnya semisal berbagi makanan via virtual. Sekarang tak perlu fisik ketemu fisik cukup pesan via aplikasi yang dikehendaki, makanan atau barang yang dipesan dapat diterima dalam hitungan jam. Artinya kehidupan virtual ini sudah merambah kepada semua lini kehidupan masyarakat, baik kehidupan pendidikan,sosial, ekonomi, politik dan budaya. Semua sangat dipengaruhi oleh virtualisasi teknologi modern.

PAHALA VIRTUAL

Aspek ketiga tak kalah pentingnya untuk ditelisik akibat wabah ini, pahala virtual. Apakah memang ada pahala virtual?

Maaf, mungkin ini istilah penulis untuk lebih mengakrabkan kita dalam memahami kontek virtual. Sebab menggunakan media virtual bukan perkara bid’ah dalam ibadah bukan bidah virtualiyah, namun pada asensinya menggunakan virtual sebagai media ibadah saat ini merupakan sesuatu yang niscaya yang tak bisa dihindari. Misalnya beribadah dengan menggunakan video call, nikah menggunakan zoom meeting, ibadah lainnya yang memerlukan bimbingan dan petunjuk teknis sehingga mau tidak mau kehidupan manusia harus siap menuju Era Baru dalam menghadapi segala dinamika dan perkembangan sosial dan peradaban kemanusiaan modern.

Pahala virtual tak nampak secara fisik terkirim dalam alam abstrak tak ubahnya seperti terkirimnya pesan dengan sinyal yang tak terlihat karena sinyal itu sebagai perwujudan cahaya yang memancarkan energi untuk alam semesta seperti para malaikat yang menyampaikan pesan ilahi via cahaya yang melekat pada dirinya. Itulah gambaran virtualisasi kehidupan masyarakat yang kemudian bisa menjadikannya sebagai carapandang melihat perubahan virtual menjadi konsep emprik dalam dimensi virtualisme kehidupan.

Semoga wabah covid ini dapat menghantarkan manusia menjadi manusia yang arif dan bijaksana dalam menyikapi persoalan kemanusiaan yang bisa menjadi sebuah peradaban keagamaan dan peradaban sosial kemanusiaan lainnya.